Kumpulan Makalah dalam Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran

Disusun Oleh:
Kelas 3A Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Riau

BAB 1 
KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1.1 Hakikat Belajar dan Pembelajaran
Belajar sebagai karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain, merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sepanjang hayat manusia, bahkan tiada hari tanpa belajar. Dengan demikian, belajar tidak hanya di pahami sebagai aktivitas yang dilakukan oleh pelajar saja. Baik mereka yang sedang belajar ditingkat sekolah dasar, sekolah tingkat pertama, sekolah tingkat atas, perguruan tinggi, maupun mereka yang sedang mengikuti kursus, pelatihan, dan kegiatan pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu, pengertian belajar itu sangat luas dan tidak hanya sebagai kegiatan di bangku sekolah saja (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2010:12).
Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memgang peranan yang penting atau vital. Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar, dan kegiatan mengajar hanya bermakna bila terjadi kegiatan belajar siswa. Oleh karena itu, adalah penting sekali bagi setiap guru memahami sebaik-baiknya tentang proses belajar siswa, agar ia dapat memberikan bimbingan dan menyediakan lingkungan belajar yang tepat dan serasi bagi siswa (Hamalik, 1999:36).

A. Pengertian Belajar Menurut Beberapa Ahli :
1. Menurut Udin dan Winataputra (2007:1.4).
  Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan dengan membaca dan menggunakan pengalaman sebagai pengetahuan yang memandu perilaku pada masa yang akan datang.


2. Menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2010 : 11-13).
     Belajar adalah proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.
3. Menurut Slameto (2013:2).
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
4. Menurut Oemar Hamalik (2013:27).
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.

Kesimpulan menurut penulis :
Belajar adalah suatu proses dimana adanya perubahan tingkah laku pada diri individu sebagai akibat pengalaman.

B. Ciri-Ciri Belajar
Dari beberapa defenisi para ahli tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa ciri belajar (Baharuddin dan Wahyuni, 2010:15) yaitu :
1. Belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku (change behavivor).
2. Perubahan perilaku relative permanent.
3. Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial.
4. Perubahan tingkah laku merupakan hasil latihan atau pengalaman.
5. Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan. Sesuatu yang memperkuat itu akan memberikan semangat atau dorongan untuk mengubah tingkah laku.
C. Jenis-Jenis Belajar
1. Belajar Isyarat (Signal Learning).
     Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya tanda atau isyarat. Misalnya berhenti berbicara ketika mendapat isyarat untuk menyilang mulut sebagai tanda tidak boleh ribut.
2. Belajar Stimulus-Respon (Stimulus-Response Learnig).
     Belajar stimulus-respon terjadi pada diri individu karena ada rangsangan dari luar. Misalnya menendang bola ketika ada bola di depan kaki.
3. Belajar Membedakan (discrimination Learnig).
     Belajar diskriminasi terjadi bila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba membeda bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya membedakan jenis tumbuhan atas dasar urat daunnya.
4. Belajar Konsep (concept Learning).
    Belajar konsep terjadi bila individu menghadapi berbagai fakta atau data yang kemudian ditafsirkan ke dalam suatu pengertian atau makna abstrak. Misalnya binatang, tumbuhan dan manusia termasuk makhluk hidup.
5. Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning).
     Belajar aturan hukum terjadi bila individu menggunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang terdahulu atau yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu aturan.
6. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving Learning).
     Belajar pemecahan masalah terjadi bila individu menggunakan berbagai 
     konsep atau prinsip untuk menjawab suatu pertanyaan.




1.2 Unsur-Unsur Belajar
Menurut Hamalik (1999: 50-52) unsur-unsur dalam proses belajar yaitu : 
a) Motivasi Siswa
Motivasi adalah dorongan yang menyebabkan terjadi suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Perbuatan belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan belajar. Dorongan itu dapat timbul dari dalam diri subjek yang belajar yang bersumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan atau dorongan yang timbul karena rangsangan dari luar sehingga subjek melakukan perbuatan belajar. Motivasi yang timbul karena kebutuhan dari dalam diri siswa dianggap lebih baik di bandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar. 
b) Bahan Belajar 
Bahan belajar merupakan suatu unsur belajar yang terpenting didapatkan dari guru. Dengan bahan itu, para siswa dapat mempelajari hal-hal yang diperlukan dalam upaya mencapai tujuan belajar. Bahan belajar mesti berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, dalam hal ini adalah hasil-hasil yang diharapkan, misalnya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pengelaman lainnya. Dalam silabus dan GBPP telah dirumuskan secara rinci materi belajar yang ditentukan untuk dipelajari oleh siswa, berupa topik-topik inti, topik buku inti, serta uraian skripsi dan bahan kajian lainnya. 
c) Alat Bantu Belajar
Alat bantu belajar merupakan semua alat yang dapat digunakan untuk membantu siswa melakukan perbuatan belajar, sehingga kegiatan-kegiatan belajar menjadi lebih efesien dan efektif. Alat batu belajar disebut juga alat peraga atau media belajar, misalnya dalam bentuk bahan tercetak, alat-alat yang dapat dilihat (media visual), alat yang daapat didengar (media audio), dan alat-alat yang dapat didengar dan dilihat (Audio-Visual Aids), serta 
sumber-sumber masyarakan yang dapat dialami secara langsung. 

d) Suasana Belajar
Suasana belajar penting artinya bagi kegiatan belajar. Suasan yang menyenankan dapat mrnumbuhkan kegairahan belajar, sedangkan suasana yang kacau, ramai, tak tenang, dan banyak gangguan, sudah tentu tidak menunjang kegiatan belajar yang efektif. Karena itu, guru dan siswa dituntut agar menciptakan suasana lingkungan belajar yang baik dan menyenangkan, menantang dan menggairahkan. Hal ini berarti suasana belajar turut menentukan motivasi, kegiatan, keberhasilan belajar siswa. 
e) Kondisi Subjek Belajar 
Kondisi subjek belajar turut menentukan kegiatan dan keberhasilan belajar. Siswa dapat belajar secara efisien dan efektif apabila berbadan sehat, memiliki intelegensi  yang memadai, siap untuk melakukan kegiatan belajar, memiliki bakat khusus, dan pengelaman yang bertalian dengan pelajaran, serta memiliki minat untuk belajar. Siswa yang sakit/kurang sehat, inteligansi rendah, belum siap belajar, tidak berbakat untuk mempelajari sesuatu, dan tidak memiliki pengelaman appersepsi yang memadai, kiranya akan mempengaruhi kelncaran kegiatan dan mutu hasil belajarnya. 

1.3 Tujuan Belajar
 Suprijono (dalam Thobroni 2016:20), Tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional yang dinamakan instructional effects, yang biasanya berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan, tujuan belajar sebagai hasil yang menyertai tujuan belajar instruksional disebut nurturant effects. Bentuk nya berupa kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima orang lain, dan sebagainya. Tujuan ini merupakan konsekuensi logis dari pesrta didik “menghidupi” (live in) suatu sistem lingkungan belajar tertentu.
Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa. Tujuan belajar merupakan cara yang akurat untuk menentukan hasil pembelajaran (Hamalik, 1999: 73). 
A. Pentingnya Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Menurut Hamalik (1999: 75-76), Tujuan penting dalam rangka sistem pembelajaran, yakni merupakan suatu komponen sistem pembelajaran yang menjadi titik tolak dalam rancang sistem yang efektif. Secara khusus kepentingan itu terletak pada:
1. Untuk menilai hasil pembelajaran.pengajaran dianggap berhasil jika siswa mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ketercapaian tujuan oleh siswa menjadi indikator keberhasilan sistem pembelajaran. 
2. Untuk membimbing siswa belajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan secara tepat diberdayaguna sebagai acuan, arahan, pedoman bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam hubungan ini, guru dapat merancang tindakan-tindakan tertentu untuk mengarahkan kegiatan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tersebut.
3. Untuk merancang sistem pembelajaran. Tujuan-tujuan itu menjadi dasar dan kriteria dalam upaya guru memilih materi pelajaran, menentukan kegiatan mengajar, memilih alat dan sumber, serta merancang prosedur penilaian. 
4. Untuk melakukan komunikasi dengan guru-guru lainnya dalam meningkatkan proses pembelajaran. Berdasarkan tujuan-tujuan itu terjadi komunikasi antara guru-guru mengenai upaya-upaya yang perlu dilakukan bersama dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut. 
5. Untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan dan keberhasilan program pembelajaran. Dengan tujuan-tujuan itu, guru dapat mengontrol sampai mana pembelajaran telah terlaksana, dan sampai mana siswa telah mencapai hal-hal yang diharapkan. Berdasalkan hasil kontrol itu dapat dilakukan upaya pemecahan kesulitan dan mengatasi masalah-masalah yang timbul sepanjang proses pembelajaran berlangsung. 

1.4 Prinsip-Prinsip Belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013 : 42-50), Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan juga perbedaan. Dari segi prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat kita pakai sebagai dasar dalam upaya pembelajaran, baik bagi siswa yang perlu meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan mengajarnya. Prinsip-prinsip belajar yaitu :
a) Perhatian dan motivasi
      Menurut Gage dan Berliner, 1984:335 (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2013:42), Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar, dari kajian teori belajar pengolahan invormasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap belajar akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
b) Keaktifan 
Kecendrungan psikologi dewas ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Menurut John Dewey (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2013:44), Belajar adalah menyangkut apa yang harus di kerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri guru hanya sekedar pembimbing dan pengarah.
Dalam setiap proses belajar, siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan itu beraneka ragam bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah kita amati sampai psikis yang susah diamati, kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis. Sedangkan kegiatan psikis misalnya menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan dengan satu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan, dan kegiatan psikis yang lain.
c) Keterlibatan langsung
Belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2013:45), Dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
d) Pengulangan 
      Menurut teori psikologi daya belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menaggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya-daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan menjadi sempurna.
e) Tantangan 
Teori Medan (Field Theory) dari Kurt Lewin (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2013:47), Mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa menghadapai suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan ajar, maka timbul lah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya belajar telah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.
f) Balikan dan Penguatan
Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil yang baik merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.
g) Perbedaan Individual
Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran
BAB 2


2.1 Pengertian Psikologi Belajar
Menurut Khairani (2014:2-6), ada empat kata yang terkait dengan kegiatan belajar yang perlu dimaknai secara tersendiri, yaitu: Psikologi, Belajar, Pembelajaran, dan Psikologi Belajar. Berikut akan dijelasakn pengertian dari psikologi dan pengertian pembelajaran.
a. Pengertian Psikologi
            Menurut asal katanya, Psikologi berasal dari kata Yunani “Psyche” yang berarti jiwa dan “Logos” yang berarti ilmu, jadi secara harfiah Psikologi berarti Ilmu Jiwa. Tetapi arti “Ilmu Jiwa” masih kabur sekali.Karena kekaburan arti dari psikologi kalau ditinjau dari arti katanya, terutama arti dari jiwa itu, maka sering timbul berbagai pendapat mengenai defenisi psikologi yang sering berbeda.Banyak ahli memberikan defenisinya sendiri yang disesuaikan dengan arah minat, latar belakang pengetahuan dan aliran masing-masing. Di antara para pakar lainnya yang mengemukakan defenisi Psikologi, antara lain:
1) Robert S. Woodworth and Donald G. Marquis “Psikologi dapat didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas individu”.
2) Garden Murphy “Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya”.
3) Ernes Hilgert menyatakan bahwa “Psikologi dapat didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dan makhluk lainnya”.
4) Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa “Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya”.
5) Ngalim Purwanto menyatakan bahwa “Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia”.
6) Ahmad dan Supriyono mengatakan bahwa “Psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami prilaku manusia”.
Jadi, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia.
b. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan peserta didik. Untuk membelajarkan seseorang, diperlukan pijakan teori agar apa yang dilakukan guru, dosen, pelatih, instruktur maupun siapa saja yang berkeinginan umutuk membelajarkan orang dapat berhasil dengan baik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi. 
Pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan  hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
Menurut Sudirman (2011:39), dalam proses pembelajaran ternyata memiliki banyak faktor yang memengaruhinya. Dari sekian banyak faktor yang berpengaruh itu, secara garis besar dibagi dalam klasifikasi faktor intern (dari dalam) diri si subjek belajar dan faktor ekstern (dari luar) diri si subjek. Dalam hubungannya dengan proses interaksi belajar-mengajar yang lebih menitik beratkan pada soal motivasi dan reinforcement, pembicaraan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kegiatan belajar ini lebih ditekankan pada faktor intern. Faktor intern ini sebenarnya menyangkut faktor-faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Kehadiran faktor-faktor psikologis dalam belajar akan memberikan andil yng cukup penting. Faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan belajar secra optimal. Sebaliknya, tanpa kehadiran faktor-faktor psikologis, bisa jadi memperlambat proses belajar, bahkan dapat pula menambah kesulitan dalam mengajar. Faktor-faktor psikologis yang dikatakan memiliki peranan penting itu, dapat dipandang sebagai cara-cara berfungsinya pikiran siswa dalam hubungannya dengan pemahaman bahan pembelajaran, sehingga penguasaan terhadap bahan yang disajikan lebih mudah dan efektif.Dalam hal ini ada ada berbagai model klasifikais pembagian macam-macam faktor psikologis yang diperlukan dalam pembelajaran.
a) Inteligensi
Menurut khairani (2014:110-115), inteligensi adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual manusia.Inteligensi merupakan bagian dari proses-proses kognitif pada urutan yang lebih tinggi (higher order cognition).Secara umum inteligensi sering disebut kecerdasan, sehingga orang yang memiliki inteligensi yang tinggi sering disebut orang cerdas ata jenius.
Kecerdasan (inteligensi) secara umum dipahami pada dua tingkat yakni: Kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kecerdasan. Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi, kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efesien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi pencapaian sasaran yang lebih baik dari orang yang kurang cerdas. 
Prestasi seseorang ditentukan juga oleh tingkat kecerdasannya (inteligensi). Tingkat kecerdasan (inteligensi) bawaan ditentukan baik oleh bakat bawaan (berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh faktor lingkungan (termasuk semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh seseorang; terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan mempunyai dampak kuat terhadap kecerdasan seseorang), secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Kemampuan untuk berpikir abstrak.
b. Untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar.
c. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.

Ketiga rumusan tersebut menunjukkan aspek yang berbeda dari inteligensi, namun ketiga rumusan tersebut saling  berkaitan. Keberhasilan dalam menyesuaikan diri seseorang tergantung dari kemampuannya untuk berpikir dan belajar.ungkapan-ungkapan pikiran, cara bicara, dan cara mengajukan pertanyaan, kemampuan memecahkan masalah, dan sebagainya mencerminkan kecerdasa. Akan tetapi diperlukan waktu lama untuk dapat menyimpulkan kecerdasan seseorang berdasarkan pengamatan perilakunya, dan cara demikian belum tentu tepat pula. Oleh karena itu, para ahli telah menyusun bermacam-macam tes inteligensi yang memungkinkan kita dalam waktu yang relatif cepat mengetahui tingkat kecerdasan seseorang.Inteligensi seseorang biasanya dinyatakan dalan suatu angka inteligensi yaitu Intelligence Quotient (IQ).
1) Inteligensi sebagai kemampuan 
Nickerson, Perkins, dan Smith membuat daftar kemampuan yang mereka percayai sebagai representasi dari inteligensi manusia. Kemampuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Kemampuan Mengklasifikasikan Pola-pola Objek
  Orang dengan inteligensi normal mampu mengenali dan mengklasifikasikan stimulus-stimulus yang tidak identik ke dalam satu kelas atau rumpun.
b) Kemampuan Beradaptasi (Kemampuan Belajar)
Kemampuan belajar dan memodifikasi perilaku agar dapat beradaptasi dengan lingkungan merupakan hal yang penting bagi inteligensi manusia.
c) Kemampuan Menalar secara Deduktif
Orang yang inteligensi mampu menarik kesimpulan tertentu berdasarkan premis-premis yang mendahului.
d) Kemampuan Menalar secara Induktif
Penalaran induktif meminta seseorang menarik kesimpulan di balik informasi yang diberikan atau terbatas.Penalaran ini meminta seseorang untuk menemukan aturan-aturan atau prinsip-prinsip tertentu berdasarkan contoh-contoh khusus.
e) Kemampuan Mengembangkan dan Menggunakan Konsep
Meliputi bagaimana seseorang membentuk suatu kesanpemahaman mengenai cara-cara suatu objek bekerja atau berfungsi, dab bagaimana menggunakan model itu untuk memahami dan menginterprestasi kejadian-kejadian.
f) Kemampuan Memahami  
Berkaitan dengan kemampuan melihat adanya hubungan atauu relasi dalam suatu permasalahan, dan kegunaan-kegunaan hubungan ini bagi pemecahan masalah itu.Keabsahan kemampuan memahami ini merupakan bagian yang menonjol di dalam tugas-tugas pada tes inteligensi.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain sebagai berikut:
a) Pembawaan: Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. “Batas kesanggupan kita”, yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita. 
b) Kematangan: Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. 
c) Pembentukan: Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
d) Minat dan pembawaan yang khas: Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untukberinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motives) dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. 
e) Kebebasan: Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:245-246), inteligengsi dianggap sebagai suatu norma umum dalam keberhasilanan belajar. Inteligengsi norma bila nilai IQ menunjukkan 85-115. Diduga 70% penduduk memiliki IQ normal. Sedangkan berIQ di bawah 70% diduga sebesar 15% penduduk, dan berIQ 115-145 sebesar 15%. Yang berIQ 130-145 hanya sebesar 2% penduduk. Yang menjadi masalah adalah siswa yang memiliki kecapakan di bawah normal. Siti Rahayu Haditono mengatakan, di Indonesia juga ditemukan banyak siswa memperoleh angka hasil belajar yang rendah. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor seperti (i) kurangnya fasilitas belajar di sekolah dan rumah di perbagai pelosok, (ii) siswa makin dihadapka oleh berbagai pilihan dan merek merasa ragu dan takut gagal, (iii) kurangnya dorongan mental dari orang tua tidak memahami apa yang dipeajari anaknya di sekolah, dan (iv) keadaan gizi yang rendah, sehingga siswa tidak mampu belajar yang lebih bik serta (v) gabungan dari faktor-fator tersebut, mempengaruhi berbagai hambatan belajar.
Dengan perolehan hasil belajar yang rendah, yang disebabkan oleh inteligengsi yang rendah atau kurangnya kesungguhan belajar berarti terbetuknya tenaga kerja yang bermutu rendah. Hal ini akan merugikan calon tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu pada tempatnya mereka didorong untuk belajar di bidang-bidang keterampilan sebagai bekal hidup. Penyediaan kesampatan belajar di luar sekolah, merupakan langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan warga bangasawan Indonesia.
b) Sikap Belajar
Menurut Jahja (2011:67), sikap merupakan kesiapan atau keadaan siap untuk timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku. Sikap juga merupakan organisasi keyakinan-keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajek, yang memberi dasar kepada orang untuk membuat respons dalam cara tertentu. Sikap merupakan penentu dalam tingkah laku manusia, sebagai reaksi sikap selalu berhubungan dengan dua hal yaitu ‘like’ atau ‘dislike’ (senang atau tidak senang, suka atau tidak suka). 
Menurut Tohirin (2011:134-135), sikap merupakan gejala internal yang berdimensi afektif, berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek tertentu, seperti orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap yang positif terhadap mata pelajaran tertentu apalagi ditambah dengan timbulnya rasa kebencian terhadap mata pelajaran tertentu, akan menimbulkan kesulitan belajar bagi siswa yang bersangkutan. 
Mengingat sikap siswa terhadap mata pelajaran tertentu memengaruhi hasil belajarnya, perlu diupayakan agar tidak timbul sikap negatif siswa terhadap mata pelajaran tertentu.Guna mengantisipasi munculnya sikap negatif siswa, guru dituntut untuk selalu menunjukkan sikap pisitif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi kesukaanya.Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang semikian tidak hanya menguasai bahan-bahan yang diajarkannya, tetapi juga mampu meyakinkan kepada para siswa akan manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya. Dari perasaan butuh itulah akan muncul sikap positif terhadap bidang studi tertentu sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.
c) Motivasi
Menurut Djamrah (2008:148-151), banyak para ahli yang sudah mengemukakan pengertian motivasi dengan berbagai sudut pandang mereka masing-masing, namun intuinya sama, yakni sebagai suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu.
Mc. Donald mengatakan bahwa, motivation is a energy change within the person characterized by affective and anticipatory goal reactions. Motivasi adalah  suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan. Perubahan energi dalam diri seseorang itu terbentuk suatu aktivitas nyata berupa kegiatan fisik.Karena seseorang mempunyai tujuan tertentu dari aktivitasnya, maka seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat dia lakukan untuk mencapainya. Dalam membicarakan soal macam-macam motivasi, hanya akan dibahas dari dua sudut pandang, yakni motivasi yang berasal dari dalam diri pribadi seseorang yang disebut “motivasi instrinsik” dan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang yang disebut “motivasi ekstrinsik”.
1. Motivasi Instrinsik
Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.Motivasi itu instrinsik bila tujuannya inheren dengan situasi belajar dan bertemu dengan kebutuhan dan tujuan anak didik untuk menguasai nilai-nilai yang terkandung di dalam pelajaran itu. Anak didik termotivasi untuk belajar semata-mata untuk menguasai nilai yang terkandung dalam pelajaran, bukan karena keinginan lain seperti ingin mendapat pujian, nilai yang tinggi, atau hadiah dan sebagainya.
2. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi instrinsik.Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila anak didik menempatkan tujuan belajarnya di luar faktor-faktor situasi belajar (resides in some factors outside the learning situation). Anak didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak di luar hal yang dipelajarinya.
Baik motivasi instrinsik maupun ekstrinsik sama-sama berfungsi sebagai pendorong, penggerak, dan penyeleksi perbuatan.Ketiganya menyatu dalam sikap terimplikasi dalam perbuatan. Dorongan adalah fenomena psikologis dari dalam yang melahirkan hasrat untuk bergerak dalam menyeleksi perbuatan yang akan dilakukan. Kerana itulah baik dorongan atau penggerak maupun penyeleksi merupakan kata kunci dari motivasi dalamsetiap perbuatan dalam belajar.
d) Konsentrasi
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:239), konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pembelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat. Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker, kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar guru memberikan istirahat selingan selama beberapa menit. Dengan selingan istirahat tersebut, prestasi belajar siswa akan meningkat kembali. 
e) Minat
Menurut Jahja (2011:63-64), minat ialah suatu dorongan yang menyebabkan terikatnya perhatian individu pada objek tertentu seperti pekerjaan, pelajaran, benda, dan orang. Minat berhubungan dengan objek kognitif, efektif, motorik dan merupakan sumber motivasi untuk melakuakn apa yang diiinginkan. 
Minat berhubungan dengan sesuatu yang menguntungkan dan dapat menimbulkan kepuasan bagi dirinya.Kesenangan merupakan minat yang sifatnya sementara.Adapun minat bersifat tetap (persistent) da nada unsur memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan. Semakin sering minat diekspresikan dalam kegiatan akan semakin kuat minat tersebut, sebaliknya minat akan menjadi pupus kalau tidak ada kesempatan untuk mengekspresikannya. Minat memiliki sifat dan karakter khusus, sebagai berikut:
1. Minat bersifat pribadi (individual), ada perbedaan antara minat seseorang dan orang lain.
2. Minat menimbulkan efek diskriminatif.
3. Erat hubungannya dengan motivasi, mempengaruhi, dan dipengaruhi motivasi.
4. Minat merupakan sesuatu yang dipelajari, bukan bawaan lahir dan dapat berubah tergantung pada kebutuhan, pengalaman, dan mode.
f) Bakat
Menurut Hilgard dalam (Tohirin, 2011:131-132), bakat atau aptitude adalah the capacity to learn. Dengan kata lain, bakat merupakan kemmapuan untuk belajar. Secara umum Chaplin mengatakan, bakat merupakan kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan yang akan datang. Kemampuan potensial itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Secara umum bakat hamper mirip dengan intelegensi, itulah sebabnya seorang anak yang memiliki intelegensi sangat cerdas atau luar biasa cerdasnya, disebut juga sebagai talented child atau anak berbakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan indivvidu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya, akan lebih mudah menyerap informasi, pengetahun, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut disbanding teman (siswa) lain.Inilah yang kemudian disebut bakat khusus yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir).
Sehubungan dengan hal di atas, bakat akan dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana apabila orangtua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya itu. Pemaksaan kehendak terhadap seorang siswa, dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
g) Kebiasaan
Menurut Syah (2008:118), setiap siswa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaan-kebiasaannya akan tampak berubah. Burghardt menyatakan bahwa kebiasaan itu timbul karena proses penyusunan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.Kebiasaan ini terjadi karena prosedur pembiasaan seperti dalam classical dan operant conditioning.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:246), dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain berupa belajar tersebut antara lain berupa (i) belajar pada akhir semester, (ii) belajar tidak teratur, (iii) menyia-nyiakan kesempatan belajar , (iv) bersekolah hanya untuk bergengsi, (v) datang terlambat sebagai bergaya pemimpin , (vi) bergaya jantan seperti merokok, sok mengurui teman lain, dan (viii) bergaya minta “belas kasihan” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah yang ada di kota besar, kota kecil, dan dipelosok tanah air. Untuk sebagian kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri. Suatu pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian”dan berbagai petunjuk tokoh teladan, dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya belajar dapat mengurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan harga diri siswa.
h) Cita-cita
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:247), dalam rangka tugas perkembangan, pada umumnya setiap anak memiliki suatu cita-cita dalam hidup. Cita-cita merupakan motivasi intrinsik. Tetapi adakalanya “gambaran yang jelas” tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berperilaku ikut-ikutan. Sebagai ilustrasi, siswa ikut-ikutan berkelahi, merokok, sebagai tanda jantan, atau berbuat “jagoan” dengan melawan aturan. Dengan perilaku tersebut, siswa beranggapan bahwa ia telah “menempuh” perjalanan mencapai cita-cita untuk terkenal di lingkungan siswa sekolah.
Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu di didikkan Didikan memiliki cita-cita harus dimulai sejak sekolah dasar. Disekolah menengah didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sudah semakin searah. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan emansipasi diri dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal sederhana ke yang semakin sulit. Sebagai ilustrasi, bertugas menjadi pengatur lalu lintas depan sekolah, pengumpul sumbangan bencana alam, pengerak pelestari dan keserasian lingkungan hidup, penyuluh gemar membaca, dan pemecah kesulitan belajar bersama. Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan dirinya sendiri.
i) Percaya Diri
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:245), rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak  dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa untuk prestasi merupakan tahap pembuktian “perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan sejawat sswa. Semakin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya diri semakin kuat . Hal sebaliknya dapat terjadi. Kegagalan yang berulang kali dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. 
Bila rasa tidak percaya diri sanga kuat, maka diduga siswa akan menjadi takut belajar. Rasa takut belajar tersebut terjalin secara komplementer dengan rasa takut gagl lagi. Gejala ini merupakan masalah pembelajaran diri yang musykil. Pada tempatnya guru mendorong keberanian terus menerus, memberikan pengakuan dan kepercayaan bila siswa telah berhasil. Sebagai ilustrasi, siswa yang gagal ujian Bahasa Inggris, bila didorong terus, akhirnya akan berhasil lulus. Bahkan bila kepercayaan dirinya timbul, ia dapat lulus pada saat ujian akhir dengan nilai baik pada mata pelajaran Bahasa Inggris
2.2 Pengertian Mengajar dan Mendidik
Menurut Sudirman (2011:47), mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar. Kalau belajar dikatakan milik siswa, maka mngajar sebagai kegiatan guru. Disamping itu ada beberapa definisi lan, yang dirumuskan secara rinci dan tampak bertingkat.
Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan pada didik. Menurut pengertian ini berarti tujuan belajar dari siswa itu hanya sekadar ingin mendapatkan atau menguasai pengetahuan. Sebagai konsekuensi pengertian semacam ini dapat membuat suatu kecenderungan anak menjadi pasif, karena hanya menerima informasi atau pengetahuan yang diberikan oleh gurunya. Sehingga pengajarannya bersifat teacher centered, jadi gurulah yang memegang posisi kunci dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Menurut Sardiman (2011:53-54), mendidik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menghantarkan anak didik ke arah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu “mendidik” dikatakan sebagai upaya pembinaan prbadi, sikap mental dan akhlak anak didik. Dibandingkan dengan pengertian “mengajar”, maka pengertian ”mendidik” lebih mendasar. Mendidik tidak sekadar transfer of knowledge, tetapi juga tranfer of value. “Mendidik” diartikan secara komprehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik secara kognitif, psikomotorik maupun afektif, agar tumbuh sebagai manusia-manusia yang berkepribadian.
2.3 Perbedaan Mengajar dengan Mendidik
Menurut Sardiman (2011:52-53), berbicara tentang pengertian mengajar kalau dilihat esensinya dalam proses belajar-mengajar, sudah menyangkut kegiatan mendidik, dalam artian untuk menghantarkan anak kepada tingkat kedewasaan, baik secara fisik maupun mental. Tetapi dalam uraian berikut ini mencoba membedakan, dengan suatu maksud memberikan suatu penamaan terhadap kenyataan kini sedang berkembang.
Memang kalau dilihat dari segi asal katanya, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. “Mengajar” : memberi pelajaran. Misalnya memberi pelajaran matematika, memberi pelajaran bahasa, agar siswa yang diajar itu mengetahui dan paham tentang bahan yang diajarkan tadi. “Mendidik” : memelihara dan memberi latihan yang mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran Menurut umum, memang “mengajar” diartikan sebaga usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa/anak didik. Jadi “mengajar” lebih cenderung kepada transfer of knowledge.
Sebagai ilustarsi, para siswa mengeroyok gurunya, hanya karena mungkin nilai rapornya jelek atau karena tidak naik kelas. Padahal semua ini hanya simbol atau tahapan tertentu, bukan tujuan. Kasus dan kejadian seperti dicontohkan di atas, sebagai petunjuk atau akibat dari “mengajar” yang hanya transfer of knowledge, dan subjek belajar secara esensial, disamping untuk mendapatkan pengetahuan, juga untuk meningkatkan keterampilan dan pembinaan sikap mental. Dengan demikian, tidak cukup kalau hanya dilakukan proses pengajaran yang bersifat transfer of knowledge. Itulah maka “mengajar” harus sekaligus “mendidik”.

BAB 3
PENDEKATAN PEMBELAJARAN, STRATEGI PEMBELAJARAN, METODE PEMBELAJARAN, GAYA PEMBELAJARAN, TEKNIK PEMBELAJARAN, DAN TAKTIK PEMBELAJARAN

3.1 Pendekatan Pembelajaran
     Pendekatan pembelajaran adalah suatu upaya menghampiri makna pembelajaran melalui suatu cara pandang dan pandangan tertentu; atau, aplikasi suatu cara pandang dan pandangan tertentu dalam memahami makna pembelajaran (Tim Pengembang MKDP, 2013 : 190). 
Dalam belajar mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana dan bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran. 
     Guru yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedan dalam segala hal. Maka penting meluruskan pandangan yang keliru dalam menilai anak didik.Sebaiknya guru mamandang anak didik sebagai individu dengan segala perbedaan, sehingga mudak melakukan pendekatan dalam pengajaran. Ada beberapa pedekatan yang dapat membantu guru dalam memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu (Djamarah, 2010 : 53-54) : 
A. Pendekatan Filsafati terhadap Pembelajaran
Konsepsi dan makna pembelajaran berdasarkan pendekatan beberapa aliran filsafat pendidikan, dipaparkan sebagai berikut:

a) Idealisme
     Pembelajaran adalah kegiatan tanya jawab (dialetika) antara guru dengan siswa, melatih keterampilan berpikir siswa, serta pemberian teladan dalam hal pengetahuan, nilai dan moral dalam keyakinan dan tingkah laku guru, agar siswa dapat “menemukan” jawaban atas masalah yang dihadapinya sehingga dapat menguasai pengetahuan yang esensial yang sudah diterima benar dan berlaku sepanjang zaman, serta dapat mengembangkan karakter dan bakat-bakatnya.
b) Realisme
Pembelajaran adalah kegiatan gutu menciptakan kondisi lingkungan dengan disiplin tertentu untuk dialami siswa, agar siswa menguasai pengetahuan yang esensial dan terbentuk kebiasaan-kebiasaan, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta mampu melaksanakan tanggung jawab sosial.
Realisme menghendaki pembelajaran dan pengelolaan kelas yang berpusat pada guru (classroom is teacher-centered). Siswa diharapkan belajar dari pengalaman (langsung maupun tidak langsung) melalui strategi inkuiri.
c) Pragmatisme
Pembelajaran adalah kegiatan guru memfasilitasi dan membimbing siswa belajar memecahkan masalah melalui aktivitas atau kerja (learning by doing) sesuai minat bakat dan kebutuhan siswa, yang dilakukan secara terpadu dan konstektual dengan realitas yang dipandang selalu beubah, agar siswa mampu memecahkan masalah hidup pribadi dan sosial yang dihadapinya secara demoktratis. Berbeda dengan realisme, pragmatisme menghendaki pembelajaran yang berpusat pada siswa, berpusat pada masalah, berpusat pada aktifitas, dan bersifat interdisipliner atau terpadu.

d) Kontruktivisme
Pembelajaran adalah kegiatan guru memfasilitasi dan membimbing siswa berpikir, agar siswa dapat mengembangkan konsep dan pengertian tentang sesuatu sebagai hasil konstruksi aktif siswa sendiri melalui pengalaman yang sesuai dengan situasi nyata siswa (kontekstual). Bagi penganut konstruktivisme, pembelajaran meruakan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun pengetahuannya sendiri. Jadi, pembelajaran bukanlah kegiatan guru menstransfer pengetahuan kepada siswa (Tim pengembang MKDP, 2013 : 191 – 192).
B. Pendekatan Kelompok
     Dalam kegiatan belajar mengajar terkadang ada juga guru yang menggunakan pendekatan lain, yakni pendektan kelompok. Pendekatan kelompok memang suatu waktu diperlukan dan perlu digunakan untuk membina dan mengembangkan sikap sosial anak ddik. Hal ini disadari bahwa anak didik adalah sejenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama.
     Dengan pendekatan kelompok, diharapkan dapat ditumbuh kembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap anak didik. Mereka dibina ntuk mengendalikan rasa egois yang ada dalam diri mereka masing-masing, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial dikelas. Tentu saja sikap ini pada hal yang baik-baik saja. Mereka sadar bahwa hidup ini saling ketergantungan, seperti ekosistem dalamrantai kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Tidak ada makhluk hidup yang terus menerus berdiri sendiri tanpa keterlibatan makhluk lain langsung atau tidak, disadari atau tidak disadari makhluk lain itu ikut ambil bagian dalam kehidupan makhluk tertentu. 
     Ketika guru ingin menggunakan pendekatan kelompok, maka guru harus sudah mempertimbangkan bahwa hal itu tidak bertentang dengan tujuan, fasilitas belajar pendukung, metode yang dipakai sudah dikuasai, dan bahan yang diberikan kepada anak didik memang cocok didekati dengan pendekatan kelompok. Karena itu, pendekatan kelompok tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan hal-hal lain yang ikut mempengaruhi penggunaanya.
      Keakraban atau kesatuan kelompok ditentukan oleh tarikan-tarikan interpersonal atau aling menyukai satu sama lain. Yang mempunyaikecendrungan menamakan keakraban sebagai tarikan kelompok adalah merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan kelompok bersatu.
Keakraban kelompok dapat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Perasaan diterima atau disukai teman-teman
2. Tarikan kelompok
3. Teknik pengelompokan oleh guru
4. Pasrtisipasi/keterlibatan dalam kelompok
5. Penerimaan tujuan kelompok dan persetujuan dalam cara mencapainya
6. Struktur dan sifat-sifat kelompok. Sedangkan sifat-sifat kelompok itu adalah :
a. Suatu multipersonalia dengan tingkat keakraban tertentu
b. Suatu sistem interaksi
c. Suatu organisasi atau struktur 
d. Merupakan suatu motif tertentu dan tujuan bersama
e. Merupakan suatu kekuatan atau standar perilaku tertentu
f. Pola perilaku dapat diobservasi yang disebut kepribadian. 
Akhirnya, guru dapat memanfaatkan penekatan kelompok demi untuk kepentingan pengelolaan pengajajaran pada umumnya dan pengelolaan kelas pada khususnya (Djamarah, 2010 : 55-57). 
C. Pendekatan Bervariasi
     Dalam belajar mengajar, guru yang hanya menggunakan satu metode biasanya sukar menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Bila terjadi perubahan suasana kelas akan sulit menormalkannya kembali. Ini sebagai tanda adanya ganguan dalam proses belajar mengajar. Akibatnya, jalannya pelajaran kurang menjadi efektif. Efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan pun jadi terganggu disebabkan anak didik kurang mampu berkonsentrasi. Metode yang hanya satu-satunya dipergunakan tidak dapat diperankan karena emang gangguan itu terpangkal dari kelemahan metode tersebut.Karena itu, dalam mengajar kebanyakan guru menggunakan beberapa metode dan jarang sekali menggunakan satu metode.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru bisa saja membagi anak didik ke dalam beberapa kelompok belajar. Tetapi dalam hal ini, terkadang diperlukan juga pendapat dan kemauan anak didik. Bagaimana keinginan mereka masing-masing. Boleh jadi dalam suatu pertemuan ada anak didik yang suka belajar dalam berkelompok, tetapi ada juga anak didik yang senang belajar sendiri. Bila hal ini terjadi, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu, belajar dalam kelompok dan belajar sendiri, terlepas dari kelompok, tetapi masih dalam pengawasan dan bimbingan guru.
     Permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik biasanya bervariasi, maka pendekatan yang digunakan pun akan kebih tepat dengan pendekatan bervariasi pula. Misalnya, anak didik yang tidak disiplin dan anak didik yang suka berbicara akan berbeda pemecahannya dan menghendaki pendekatan yang berbeda-beda pula.      Demikian juga halnya terhadap anak didik yang suka membuat keributan. Guru tidak bisa menggunakan teknik pemecahan yang sama untuk pemecahan permasalahan yang lain. Kalaupun ada, itu hanya pada kasus tertentu.Perbedan dalam teknik pemecahan kasus itulah dalam pembicaraan ini didekati dengan “pendekatan bervariasi (Djamarah, 2010 : 57-58). 
D. Pendekatan Edukatif
     Cukup banyak sikap dan perbuatan yang harus guru lakukan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak didik. Salah satu contohnya, misalnya ketika lonceng tanda masuk kelas telah berbunyi, anak-anak jangan dibiarkan masuk dulu, tetapi suruhlah mereka berbaris di depan pintu masuk dan perintahkanlah ketua kelas untuk mengatur barisan. Semua anak perempuan berbaris dalam kelompok jenisnya.Demikian juga semua anak laki-laki berbaris dalam kelompok jenisnya. Jadi, barisan dibentuk menjadi dua dengan pandangan terarah kepintu masuk. Di sisi pintu masuk guru berdiri sambil mengontrol bagaimana anak-anak berbaris di pintu masuk kelas.Semua anak dipersilahkan masuk kelas, mereka satu persatu menyalami guru dan mencium tangan guru sbelum dilepas. Akhirnya, semua anak masuk dan pelajaran dimulai.
     Contoh diatas menggambarkan pendekatan edukatif yang telah dilakukan oleh guru dengan menyuruh anak didik berbaris di depan pintu masuk kelas. Guru telah meletakkan tujuan untuk membina watak anak didik dengan pendidikan akhlak mulia. Guru telah membimbing anak didik, bagaimana cara memimpin kawan-kawannya dan anak-anak lainnya, emmbina bagaimana cara menghargai orang lain dengan cara mematuhi semua perintahnya yang bernilai kebaikan. 
     Guru yang hanya mengajar di kelas, bekum dapat menjamin terbentuknya kepribadian anak didik yang berakhlak mulia.Demikian juga dengan guru yang mengambil jarak dengan anak didik.Kerawanan hubungan guru dengan anak didik kurang berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi guru untuk melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah.
     Guru yang jarang bergaul dengan anak didik dan tidak mau tahu dengan masalah yang dirasakan anak didik, membuat anak didik apatis dan tertutup aas apa yang dirasakannya. Sikap guru yang demikian kurang dibenarkan dalam pendidikan, karena menyebabkan anak didik menjadi orang yang introver (tertutup). (Djamarah, 2010 : 58-51). 

3.2 Strategi Pembelajaran
   1. Pengertian Strategi Pembelajaran
Pengertian strategi pembelajaran menurut beberapa ahli:
a) Menurut David (dalam Sanjaya, 2011 : 126), dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal.
b) Strategi pembelajaran adalah pola umum rencana interaksi antara siswa dengan guru dan sumber belajar lainnya pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan tertentu (Tim Pengembang MKDP, 2013 : 195).
c) Menurut Kemp (dalam Sanjaya 2011 : 126), strategi pembelajaran adalah sutau kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
d) Dick and Carey (dalam sanjaya, 2011 : 126), strategi pembelajaran itu adalah sutau set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Dari beberapa pengertian para ahli, dapat penulis simpulkan strategi pembelajaran adalah perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2. Jenis-jenis Strategi Pembelajaran
     a. Strategi Pembelajaran Ekspositori
     Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menenkankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Menurut Killen (dalam Sanjaya, 2011 : 179), menanamkan strategi ekspositori ini dengan istilah strategi pembelajaran langsung (direct instruction). Karena, dalam strategi ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu.materi seakan-akan sudah jadi. Oleh karena ekspositori lebih menekankan kepada proses bertutur, maka sering juga diistilahkan sebagai strategi “Chalk and talk”.
Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori.Pertama, strategi ekspositori dilakukan secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang mengindentikannya dengan ceramah.Kedua, biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang.Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar, dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan.
     Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach). Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan.Melalui strategi ini guru menyampaikan secara tersruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama strategi ini adalah kemampuan akademik siswa (Sanjaya, 2011 : 179). 
Strategi pembelajaran ekspositori akan efektif apabila:
1) Guru akan menyampaikan bahan-bahan baru serta kaitannya dengan yang akan dan harus dipelajari siswa (overview). Biasanya bahan atau materi baru itu diperlukan untuk kegiatan-kegiatan khusus, seperti pemecahan masalah atau untuk melakukan proses tertentu. Oleh sebab itu, materi yang disampaikan adalah materi-materi dasar seperti konsep-konsep tertentu, prosedur, atau rangkaian aktivitas dan lain sebagainya.
2) Apabila guru menginginkan agar siswa mempunyai gaya model intelektual tertentu, misalnya agar siswa bisa mengingat bahan pelajaran sehingga ia akan dapat mengungkapkannya kembali manakala diperlukan.
3) Jika ingin membangkitkan keingintahuan siswa tentang topik tertentu. Misalnya, materi pelajaran yang bersifat pancingan untuk untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.
4) Apabila seluruh siswa memiliki tingkat kesulitan yang sama sehingga guru perlu menjelaskan untuk seluruh siswa. 
5) Apabila guru akan mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki kemampuan rendah. Berdasarkan hasil penelitian Ross & Kyle (dalam Wijayanti, 2011 : 180) strategi ini sangat efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan untuk anak-anak yang memiliki kemampuan kurang.
6) Jika lingkungan tidak mendukung untuk menggunakan strategi yang berpusat pada siswa, misalnya tidak adanya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

b. Strategi Pembelajaran Inkuiri
     Strategi pembelajaran inkuiri (SPI) adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang menenkankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui Tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasalah dari bahasan Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan.
Ada beberapa hal yang menjadi cirri utama strategi pembelajaran inkuiri.Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri. 
     Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari jawaban sendiri dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, strategi pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. 
     Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran ini siswa tak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.      Tujuan utama pembelajaran ini adalah menolong siswa untuk dapat mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka.
     Strategi pembelajaran inkuiri merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa. Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran (Sanjaya, 2011 : 196 – 197).
Strategi pembelajaran inkuiri akan efektif apabila:
1) Guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian, dalam strategi penguasaan materi bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar.
2) Jika bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
3) Jika jumlah siswa yang belajaran tak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
4) Jika proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu (Sanjaya, 2011 : 198).
c. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM)
       SPBM dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menenkankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga cirri utama SPBM.Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. SPBM tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. SPBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.    Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmuah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
     Untuk mengimplementasikan SPBM, guru perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain. Misalnya, dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa kemasyarakatan (Sanjaya, 2011 : 214 – 215).
Strategi pembelajaan degan pemecahan masalah dapat diterapkan:
1) Apabila guru bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional siswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgment secara objektif.
2) Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya.
3) Jika guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (Sanjaya, 2011 : 215).
d. Strategi Pembelajaran Pembelajaran Kontekstual (CTL)
     Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
     Dari konsep tersebut, ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
     Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan natara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bemakna secara fungsional, akan tetapi materi yang di pelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
     Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata (Sanjaya, 2011 : 256).
Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.
1. Pembelajaran yang konstektual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya.
2. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
3. Memperhatikan pengetahuan dan pengalaman tersebut, artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
4. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi (Sanjaya, 2011 : 256).

3.3 Penentuan Metode Dalam Pengajaran
     Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Ini berarti, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.Dengan demikian, metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran sangat penting. Keberhasilan implementasi strategi pembelajaran sangat bergantung pada cara guru menggunakan metode pembelajaran, karena suatu strategi pembelajaran hanya mungkin dapat diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran (Sanjaya, 2011 : 147).
Berikut ini disajikan beberapa metode pembelajaran yang bisa digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran :
a. Metode Proyek
     Metode proyek atau unit adalah cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari bebagai segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan bermakna. 


Kelebihan metode ini  adalah :
1) Dapat memperluas pemikiran siswa yang berguna dalam menghadapi maslah kehidupan. 
2) Dapat membina siswa dengan kebiasaan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari secara terpadu. 
3) Metode ini sesuai dengan prinsip-prinsip diaktik modern yang dalam pengajaran perlu diperhatikan :
a) Kemampuan individual siswa dan kerjasama dalam kelompok.
b) Bahan belajar tidak terlepas dari kehidupan riil sehari-hari yang penuh dengan masalah.
c) Pengembangan aktivitas, kreativitas dan pengalaman siswa banyak dilakukan. 
d) Agar teori dan praktik, sekolah dan kehidupan masyarakatmenjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Kekurangan metode ini adalah :
1) Kurikulum yang berlaku di indonesia saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal belum mampu menunjang pelakaan metode ini. 
2) Pemilihan topik unit yang sesuai dengan kebutuhan siswa, cukup fasilitas dan sumber-sumber belajar yang diperlukan bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. 
3) Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas (Djamarah, 2010 : 83-84). 
b. Metode Eksperimen
     Metode eksperimen (percobaan) adalah cara penyajian pelajaran, dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Dengan demikian, siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran, atau mencoba mencari suatu hukum atau dalil, dan manarik kesimpulan atas proses yang dialaminya itu. 

Kelebihan metode ini adalah :
1) Membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya.
2) Dapat membuat siswa untuk membuat terobosan-terobosan baru dengan penemuan hasil percobaannya dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
3) Hasil-hasil percobaan yang berharga dpat dimanfaatkan untuk kemakmuran umat manusia.

Kekurangan metode eksperimen  :
1) Metode ini lebih sesuai dengan bidang-bidang sains dan teknologi
2) Metode ini memerlukan berbagai fasilitas peralatan dan bahan yang tidak selalu mudah diperoleh dan mahal
3) Metode ini menuntut ketelitian, keuletan dan ketabahan
4) Setiap percobaan tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan karena mungkin ada faktor-faktor tertentu yang berada di luar jangkauan kemampuan atau pengendalian (Djamarah, 2010 : 84-85).
c. Metode Tugas  dan Resitasi
     Metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian bahan dimana guru   memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Langkah-langkah yang harus diikuti dalam penggunaan metode tugas atau resitasi, yaitu:
1. Fase pemberian tugas 
      Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan :
a) Tujuan yang akan dicapai
b) Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut
c) Sesuai dengan kemampuan siswa
d) Ada petunjuk/sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa
e) Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut

2. Langkah pelaksaan tugas 
a) Diberikan bimbingan/pengawasan oleh guru
b) Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja
c) Diusahakan/dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain
d) Dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematik.

3. Fase mempertanggungjawabkan tugas
      Fase mempertanggungjawabkan tugas inilah yang disebut “resitasi”.Hal yang harus dikerjakan pada fase ini adalah :
a) Laporan siswa baik lisan/tertulis dari apa yang telah dikerjakan 
b) Ada Tanya jawab/diskusi kelas
c) Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun nontes atau cara lainnya. 

Kelebihan metode ini adalah :
1) Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual atau kelompok 
2) Dapat mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan guru
3) Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa
4) Dapat mengembangkan kreativitas siswa



Kekurangan metode ini adalah :
1) Siswa sulit dikontrol, apakah benar ia mengerjakan tugas ataukah orang lain.
2) Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan tugas dan menyelesaikannya adakah anggota tertentu saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpatisipasi dengan bak.
3) Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.
4) Sering memberikan tugas yang monoton (tidak bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa (Djamarah, 2010 : 85-87).
d. Metode Diskusi
     Metode diskusi adalah cara penyajian pelajaran, dimana siswa-siswa diharapkan kepada suatu masalah yang bisa berupa pernytaan atau pertanyaan yang  bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Teknik diskusi adalah satu teknik belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru disekolah. Di dalam diskusi ini proses belajar mengajar terjadi, dimana interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga semuanya aktif, tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja.
     Secara umum ada dua jenis diskusi yang biasa dilakukan dalam proses pembelajaran. Pertama, diskusi kelompok.Diskusi ini dinamakan juga diskusi kelas.Pada diskusi ini permasalahan yang disajikan oleh guru dipecahkan oleh kelas secara keseluruhan.Yang mengatur jalannya diskusi adalah guru itu sendiri.Kedua, diskusi kelompok kecil.Pada diskusi ini siswa dibagi dalam beberapa kelompok.Setiap kelompok terdiri dari 3 – 7 orang. Proses pelaksanaan diskusi ini dimulai dari guru menyajikan masalah dnegan beberapa submasalah. Setiap kelompok memecahkan submasalah yang disampaikan guru. Proses diakhiri dengan laporan setiap kelompok (Sanjaya, 2011 : 155). 

Kelebihan metode ini adalah :
1) Merangsang kreativitas anak didik dalam bentuk ide, gagasan prakarsa, dan terobosan baru dalam pemecahan suatu masalah.
2) Mengembangkan sikap menghargai pendapat orang lain.
3) Memperluas wawasan. 
4) Membina untuk terbiasa musyawarah untuk mufakat dalam memecahkan suatu masalah.
Kekurangan metode ini adalah :
1) Pembicaraan terkadang menyimpang, sehingga memerlukan waktu yang panjang.
2) Tidak dapat dipakai pada kelompok yang besar.
3) Peserta mendapat informasi yang terbatas.
4) Mungkin dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara atau ingin menonjolkan diri (Djamarah, 2010 : 87-88).
e. Metode Simulasi
     Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek sebenarnya. Belajar bagaimana cara mengoperasikan sebuah mesin mempunyai karakteristik khusus misalnya, siswa belum menggunakan mesin yang sebenarnya akan lebih bagus melalui simulasi terlebih dahulu. Demikian juga untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat bermanfaat (Sanjaya, 2011 : 159 – 160). 
Metode simulasi terbagi dari beberapa jenis, diantaranya:
a. Psikodrama
Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang bertitik tolak dari permasalahan psikologis. Psikodrama biasanya digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang dialaminya (Sanjaya, 2011 : 161).
b. Sosiodrama
 Metode sosidrama dan role playing dapat dikatakan sama artinya, dan dalam pemakiannya sering disilihgantikan. Sosiadrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial.
Tujuan yang diharapkan dengan oenggunaan metode sosidrama antara lain
adalah :
1) Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain.
2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.
3) Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan.
4) Merangsang kelas untuk berpikir dan memcahkan masalah. 
Petunjuk menggunakan metode sosiadrama adalah :
1) Tetapkan dulu masalah-masalah sosial yang menarik perhatian siswa untuk dibahas. 
2) Ceritakan kepada kelas (siswa) mengenai isi dari maslah-maslah dalam konteks cerita tersebut. 
3) Tetapkan siswa yang dapat atau yang bersedia utnuk memainkan peranannya di depan kelas.
4) Jelaskan kepada pendengar mengenai peranan mereka pada waktu sosiadrama sedang berlangsung.
5) Beri kesempatan kepada para pelaku untuk berunding beberapa menit sebelum mereka memainkan peranannya. 
6) Akhiri sosiadrama pada waktu situasi pembicaraan mencapai ketegangan.
7) Akhiri sosidrama dengan diskusi kelas untuk bersama-sama memecahkan masalah persoalan yang ada pada sosiadrama tersebut.
8) Jangan lupa menilai hasil sosiadrama tersebut sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut. 

Kelebihan metode sosiodrama adalah :
1. Siswa melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat isi bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankan. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama. 
2. Siswa alam terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu main drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.
3. Bakat yang trdapat pada siswa dapat dipujuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka kan menjadi pemain yang baik kelak.
4. Kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya. 
5. Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya. 
6. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.

Kelemahan metode sosiadrama :
1. Sebagian besar anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang kreatif.
2. Banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukan.
3. Memerlukan temoat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit  menjadi kurang bebas.
4. Sering kelas lain terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan dan sebagainya (Djamarah, 2010 : 88-90).
f. Metode Demonstrasi
     Metode demostrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan. Dengan metode demonstrasi, proses penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan mendalam, sehingga membentuk pengertian dengan baik dan sempurna (Djamarah, 2010 : 90).
     Walaupun dalam proses demonstrasi peran siswa hanya sekedar memerhatikan, akan tetapi demonstrasi dapat menyajikan bahan pelajaran lebih konkret. Dalam strategi pembelajaran, demonstrasi dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan strategi ekspositori dan inkuiri (Sanjaya, 2011 : 152). 

Kelebihan metode ini adalah :
1. Dapat membuat pengaran jadi lebih jelas dan lebih konkret, sehingga menghindari verbalisme (pemahaman secara kata-kata atau kalimat).
2. Siswa lebih mudah emmahami apa yang dipelajari.
3. Proses pengajaran lebih menarik.
4. Siswa dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dan kenyataan, dan mencoba melakukannya sendiri. 

 Kekurangan metode ini adalah :
1. Metode ini memerlukan keterampilan guru secara khusus, karena tanpa ditunjang dengan hal itu, pelaksanaan demonstrasi akan kurang efektif.
2. Fasilitas seperti peralatan, tempat, dan biaya yang memadai tidak selalu tersedia dengan baik.
3. Demontrasi memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang disamping memerlukan waktu yang cukup panjang, yang mungkin terpaksa mengambil waktu atau jam pelajaran lain (Djamarah, 2010 : 91).
g. Metode Problem Solving
     Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.

Langkah-langkah dalam penggunaan metode ini adalah :
1) Adanya masalah yang ejlas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
3) Menetapkan jawaba sementara dari maslaah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada datang yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.
4) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. 
5) Menarik kesimpulan. 
Kelebihan metode problem solving :
1) Metode  ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.
2) Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasalan para siswa  menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadi permasalahan di dalam kehidupan dalam kelurga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia.
3) Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahan. 

Kekurangan metode ini adalah :
1) Menentukan  masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. Sering orang beranggapan keliru bahwa metode pemecahan masalah hanya cocok untuk SLPTP, SLTA, dan PT saja. Padahal, untuk siswa SD sederajat juga bisa dilakukan dengan tingkat kesulitan permasakahan yang sesuai dengan taraf kemampuan berpikir anak.
2) Proses belajar mengajar juga menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain. 
3) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa (Djamarah, 2010 : 91-93)
h. Metode Karyawisata
     Teknik karyawisata adalah cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajar siswa ke suatu tempat atau objek tertentu diluar sekolah untuk mempelajari/menyelidiki sesuatu seperti meninjau pabrik sepatu, suatu bengkel mobil, took serba ada, suatu peternakan atau perkebunan, museum dan sebagainya.

 Kelebihan metode karyawisata :
1) Karyawisata memiliki prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. 
2) Membuat apa yang dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyatannya dan kebutuhannya di masyarakat.
3) Pengajaran serupa ini dapat lebih merangsang kreativitas siswa.
4) Informasi sebagai bahan pelajaran lebih luas dan aktual.

Kekurangan metode ini adalah :
1) Fasilitas yang diperlukan dan biaya yang dipergunakan sulit untuk disediakan siswa atau sekolah.
2) Sangat memerlukan persiapan atau perencanaan yang matang.
3) Memerlukan koordinasi dengan guru atau bidang studi lain agar terjadi tumpang tindih waktu dan kegiatan selama karyawisata. 
4) Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi lebih prioritas daripada tujuan utama, sedangkan unsur studinya menjadi terabaikan. 
5) Sulit mengatur siswa yang banyak dalam perjalanan dan mengarahkan mereka kepada kegiatan studi yang menjadi permasalahan (Djamarah, 2010 : 93-94).
i. Metode Tanya Jawab
     Metode Tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru. Metode Tanya jawab adalah yang tertua dan banyak digunakan dalam proses pendidikan, baik dilingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. 

  Kelebihan metode ini adalah :
1) Pertanyaan dapat menarik dan memusat perhatian siswa, sekalipun ketika siswa itu sedang rebut, yang mengantuk kembali tegar dan hilang kantuknya. 
2) Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya piker, termasuk daya ingatan. 
3) Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat. 

 Kekurangan metode ini adalah :
1) Siswa merasa takut, apalagi bila guru kurang dapat mendorong siswa untuk berani, dengan menciptakan suasana yang tidak tegang, melainkan akrab. 
2) Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berpikir dan mudah dipahami siswa. 
3) Waktu sering banyak terbuang, terutama apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang. 
4) Dalam jumlah siswa yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada setiap siswa (Djamarah, 2010 : 94-95).
j. Metode Latihan
     Metode latihan yang disebut juga metode training, merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik.Selain itu, metode ini dapat digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan, kesempatan, dan keterampilan.

Kelebihan metode ini adalah :
1) Untuk memperoleh kecakapan motorik, seperti menulis, emlafalkan huruf, kata-kata atau kalimat, membuat alat-alat, menggunakan alat-alat (mesin permainan atletik), dan terampil menggunakan peralatan olahraga. 
2) Untuk memperoleh kecakakapan mental seperti dalam perkalian, menjumlahkan, pengurangan, pembagian, tanda-tanda (simbol), dan sebagainya. 
3) Untuk memperoleh kecakapan dalam bentuk asosiasi yang dibuat, seperti hubungan-hubungan huruf dalam ejaan, penggunaan simbol, membaca peta dan sebagainya.
4) Pembentukan kebiasaan yang dilakukan dan menambah ketepatan serta kecepatan pelaksanaan. 
5) Pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan yang tidak memerlukan konsentrasi dalam pelaksanannya. 
6) Pembentukan kebiasaan-kebiasaan membuat gerakan-gerakan yang kompleks, rumit, menjadi lebih otomatis. 


Kelemahan metode ini adalah :
1) Menghambat bakat dan isisiatif siswa, karena siswa lebih banyak dibawa kepada penyesuaian dan diarahkan jauh dari pengertian. 
2) Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan.
3) Kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupkan hal yang monoton, mudah membosankan. 
4) Membentuk  kebiasaan dapat yang kaku, karena bersifat otomatis. 
5) Dapat menimbulkan verbalisme (Djamarah, 2010 : 95-96).
k. Metode Ceramah
     Metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Metode ceramah adalah metode yang boleh dikatakan metode tradisional, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar mengajar. Meski metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada anak didik, tetapi metode ini tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan pengajaran.Apalagi dalam pendidikan dan pengajaran tradisional, seperti di pedesaan yang kurang fasilitas (Djamarah, 2010 : 97).
     Cara mengajar dengan ceramah dapat dikatakan juga sebagai teknik kuliah, merupakan suatu cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau informasi atau uraian tentang suatu pokok persoalan serta msalah secara lisan.
     Metode ceramah merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran ekspositori (Sanjaya, 2011 : 148). 




Kelebihan metode ini adalah :
1) Guru mudah menguasai kelas.
2) Mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas.
3) Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar.
4) Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya.
5) Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik. 

Kelemahan metode ini adalah :
1) Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).
2) Yang visual menjadi rugi, yang auditif (mendengar) yang besar menerimanya.
3) Bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan. 
4) Guru menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramahnya, ini sukar sekali.
5) Menyebabkan siswa menjadi pasif ( Djamarah, 2010 : 97-98).

3.4 Gaya Belajar
     Akhir-akhir ini timbul pikiran baru yakni, bahwa mengajar harus memperhatikan gaya belajar atau learning style siswa. Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir dan memecahkan soal (Nasution, 2011 : 93 – 94).
Salah satu hal yang sering dilupakan oleh para guru adalah bahwa setiap anak dengan latar belakang berbeda mempunyai keunikan tersendiri dalam belajar. Mereka mempunyai cara masing-masing dalam memperoleh dan mengolah informasi. Gaya inilah yang disebut dengan gaya belajar.
     Banyak ahli yang menggunakan istilah berbeda-beda dalam memahami gaya belajar ini. Akan tetapi, secara umum menurut Bobby De Potter terdapat dua benang merah yang disepakati tentang gaya belajar ini. Pertama adalah cara seseorang menyerap informasi dengan mudah yang disebut sebagai modalitas dan kedua cara orang mengolah dan mengatur informasi tersebut.
     Modalitas belajar adalah cara kita menyerap informasi melalui indra yang kita miliki. Masing-masing orang mempunyai kecenderungan berbeda-beda dalam menyerap informasi. Terdapat tiga modalitas belajar ini, yaitu apa yang sering disingkat dengan VAK, Visual, Auditory, Kinestethic (Damayanti, 2016 : 160 – 160).

1. Visual 
Modalitas ini menyerap citra terkait dengan visual, warna, gambar, peta, diagram. Model pembelajar visual menyerap informasi dan belajar dari apa yang dilihat oleh mata. Beberapa ciri dari pembelajar visual di antaranya sebagai berikut:
a) Mengingat apa yang dilihat, dari pada yang didengar.
b) Suka mencoret-coret sesuatu, yang terkadang tanpa ada artinya saat dalam kelas.
c) Pembaca cepat dan tekun.
d) Lebih suka membaca daripada dibacakan.
e) Rapi dan teratur.
f) Mementingkan penampilan, dalam hal pakaian atau pun penampilan keseluruhan.
g) Lebih memahami gambar dan bagan daripada instruksi tertulis.

2. Auditory 
Model pembelajar auditory adalah model di mana seseorang lebih cepat menyerap informasi melalui apa yang ia dengarkan. Penjelasan tertulis akan lebih mudah ditangkap oleh para pembelajar auditory ini. Ciri-ciri orang-orang auditorial di antaranya sebagai berikut:
a) Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca.
b) Senang membaca dengan keras dan menirukan nada, birama, dan warna suara.
c) Bagus dalam berbicara dan bercerita.
d) Berbicara dengan irama yang terpola.
e) Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat.
f) Suka musik dan bernyanyi.
g) Tidak bisa diam dalam waktu lama.
h) Suka mengerjakan tugas berkelompok.

3. Kinestetik
Model pembelajaran kinestetik adalah pembelajar yang menyerap informasi melalui berbagai gerakan fisik. Ciri-ciri pembelajar kinestetik adalah:
a) Menanggapi perhatian fisik.
b) Suka menggunakan berbagai peralatan dan media.
c) Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian.
d) Belajar melalui praktik
e) Menghafal dengan cara berjalan dan melihat.
f) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada cerita.

3.5 Teknik Pembelajaran
     Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama (Hatimah).
Beberapa teknik yang dapat membantu proses pembelajaran dikelas adalah sebagai berikut :
a. Memancing Apersepsi Anak Didik
     Dalam mengajar, pada saat yang tepat guru dapat memnfaatkan hal-hal yang menjadi kesenangan anak untuk diselipkan dalam melengkapi isi dari bahan pelajaran yang disampaikan.Tentu saja pemanfaatannya tidak sembarang, tetapi harus sesuai dengan bahan pelajaran.Pendekatan realisasi ini dirasakan keampuhannya untuk memudahkan pengertian dan pemahaman anak didik terhadap bahan pelajaran yang disajikan.Anak mudah menyerap bahan yang bersentuhan dengan apersepsinya.Bahan pelajaran yang belum pernah didapatkan dan masih asing baginya, mudah diserap bila penjelasannya dikaitkan dengan apersepsi anak.
     Bahan apersepsi sangat membantu peserta didik dalam usaha mengolah kesan-kesan dari bahan pelajaran yang telah diberikan oleh guru.Penjelasan demi penjelasan dapat anak didik cerna secara bertahap hingga jalan pelajaran berakhir.Dengan begitu, guru jangan khawatir bahwa anak didik tidak menguasai bahan pelajaran yang diberikan.Tapi yakinlah bahwa anak didik dapat menguasai sebagian atau seluruh bahan pelajaran yang diberikan dalam suatu pertemuan.
     Akhirnya, pengetahuan guru mengenai apersepsi dapat memancing aktivitas belajar anak didik secara optimal (Djamarah, 2010 : 143-145).
b. Memanfaatkan  Alat Bantu yang Akseptabel
     Jalan pelajaran yang kondusif adalah kondisi belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak didik.Kegairahan belajar anak didik terkuak sebagai implementasi dari luapan motivasinya. Guru yang hanya mengajar dan tanpa memerhatikan mengerti atau tidaknya anak didik terhadap bahan pelajaran yang disampaikan, akan mendapatkan reaksi negative dari anak didik. Anak didik kurang senang umpan balik dari anak didik pun tidak terjadi.
     Guru yang menyadari kelemahan dirinya untuk menjelaskan isi dari bahan pelajaran yang disampaikan sebaiknya memanfaatkan alat bantu untuk membantu memperjelas isi dari bahan. Fakta, konsep atau prinsip yang kurang dapat dijelaskan dengan kata-kata atau kalimat dapat diwakilkan kepada alat bantu untuk menjelaskannya. Alat bantu yang cocok dapat mengkonkretkan masalah yang rumit dan kompleks menjadi seolah-olah sederhana. 
     Walaupun begitu, jangan sampai kehadiran alat bantu yang lebih menarik anak didik darpada pelajaran yang akan diberikan. Alat bantu dijadikan sebagai taktik untuk meniggalkan konsentrasi anak didik  terhadap pelajaran yang disampaikan, bukan sebagai tujuan bagaimana alat bantu itu dibuat. Tujuan belajar anak didik bukan untuk mengetahui bagaimana guru membuatnya, melainkan bagaimana anak didik menguasai bahan belajar dengan tuntas (Djamarah, 2010 : 145-147).
c. Memilih Bentuk Motivasi Yang Akurat
     Motivasi memang merupakan faktor yang mempunyai arti pentingbagi seorang anak didik. Hanya dengan motivasilah anak didik dapat tergerak hatinya untuk belajar bersama teman-temannya yang lain. Dalam usaha untuk membangkitkan gairah belajar anak didik, ada enam hal yang harus dapat dikerjakan oleh guru, yaitu:
1) Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
2) Menjelaskan secara konkret keoada anak didik apa yang dapat dilakukan pada akhir pengajaran.
3) Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai anak didik sehingga dapat merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik di kemudian hari. 
4) Membentuk kebiasaan belajar yang baik.
5) Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok.
6) Menggunakan metode yang bervariasi. 

Bentuk-bentuk motivasi adalah :
1) Memberi angka
Angka dimaksud adalah sebagai simbol atau nilai dari hasil aktivitas belajar anak didik. Angka merupakan alat motivasi yang cukup memberikan rangsangan untuk memperthankan atau bahkan lebih meningkatkan prestasi belajar mereka.
2) Hadiah
Hadiah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain sebagai penghargaan/kenang-kenangan/cendramata. Kempuhan hadiah sebagai alat untuk mendapatkan umpan balik dari anak didik akan terasa jika penggunaannya tepat. Terlalu sering memberikan hadiah tidak dibenarkan, sebab hal itu akan menajdi kebiasaan yang kurang menguntungkan kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain, berilah hadiah secara tiba-tiba (spontanitas) kepada anak didik yang menunjukkan prestasi kerjanya yang gemilang di akhir kegiatan pembelajaran. 
3) Pujian
Pujian adalah alat motivasi yang positif.pujian juga dapat dimanfaatkan sebagai motivasi.Kerena anak didik juga manusia, maka dia juga senang dipuji.Pujian dapat berfungsi utnuk mengarahkan kegiatan anak didik 
pada hal-hal yang meunjang tercapainya tujuan pembelajaran.

4) Gerakan Tubuh
Gerakan tubuh dalam bentuk mimic yang cerah, dengan senyum, menggangguk, acungan jempol, tepuk tangan dan lain-lain adalah
5) Memberi Tugas 
Tugas adalah suatu pekerjaan yang menuntut pelaksanaaan untuk diselesaikan.Tugas dapat diberikan oleh guru setelah selesai menyampaikan bahan pelajaran.
6) Ulangan adalah salah satu strategi yang penting dalam pengajaran.Ulangan yang diberikankepada anak didik, guru ingin mengetahui sampai dimana dan sejauh mana hasil pengajarn yange telah dilakukan.Dan samoai sejauh mana tingkat penguasaan anak didik terhadap bahan yang telah diberikan dalam rentang waktu tertentu.
7) Mengetahui Hasil 
Dengan mengetahui hasil apa yang telah dilakukan oeleh anak didik, apalagi hasilnya dengan prestasi yang tinggi dapat mendorong anak didik utnuk mempertahankannya dan bahkan anak didik berusaha untuk meningkatkan di kemudian hari dengan cara giat belajar di rumah atau di sekolah. Jika di dalam diri setiap anak sudah tertanam sesuatu dorongan utnuk giat belajar, maka tidak sukar bagi suku untuk membelajarkan anak didik.
8) Hukuman
Hukuman adalah negative, tetapi perlu diadakan dalam pendidikan.Hukuman dimaksudkan disini tidak seperti hukuman penjara atau hukuman potong tangan, tetapi adalah hukuman yang bersifat mendidik.Hukuman mendidik inilah yang diperlukan dalam pendidikan. Kesalahan anak didik dalam melanggar disiplin dapat diberikan hukuman berupa sanksi menyapu lantai, mencatat bahan pelajaran yang ketinggalan, atau apa saja yang sifatnya mendidik (Djamarah, 2010 : 147-157).
3.6 Taktik Pembelajaran
     Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode    atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus juga seni (kiat).


BAB 4 
TEORI BELAJAR ALIRAN BEHAVIORISME

4.1 Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Terdapat beberapa buku yang mengemukakan pengertian belajar menurut pandangan teori behavioristik:
1. Menurut Udin (2007:2.3), teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar
2. Menurut Asri (2008:20), pandangan teori behavioristik terhadap belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut Asri (2008:20), teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas, stimulus alaah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan respons adalah reaksi siswa atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila  bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons

4.2 Tokoh-Tokoh Aliran Behavioristik
Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat, beturut-turut akan dibahas karya-karya para tokoh alirah behavioristic sebagai beikut.

A. Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov
Pada akhir tahun 1800-an, Ivan Pavlov ahli fisika Rusia mempelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) dan kondisioning klasik (clasical conditioning) yang disebut kondisioning Ivan Pavlov. Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2010:58), Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing. Selama pelatihan Pavlov melihat adanya perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati jika daging didekatkan pada mulut anjing yang lapar anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging menyebabkan rangsangan pada anjing, sehingga secara otomatis ia akan mengeluarkan air liur. Dalam percobaan ini daging disebut stimulus yang tidak terkondisikan. Daging dapat menimbulkan saliva tanpa latihan sementara stimulus lain seperti bell tidak menimbulkan saliva atau respon. Maka stimulus itu disebut stimulus netral. Menurut eksperimen Pavlov jika stimulus netral misalnya bel di pasangkan dengan daging (conditional stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan menjadi stimulus yang terkondisikan dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon seperti pada daging.
Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2010:60) mengatakan dari eksperimen menggunakan anjing tersebut, Pavlov menemukan beberapa hukum pengondisian yaitu:
1. Pemerolehan (acquisition)
Pemerolehan adalah membuat pasangan stimulus netraldengan stimulus tak bersyarat berulang ulang hingga muncul respon bersyarat yang disebut acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu).
2. Pemadaman (extinction)
Setelah respon itu terbentuk, maka respon itu akan tetap ada selama masih diberikannya rangsangan bersyarat dan dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respon bersyarat lalu tidak mempunyai penguat dan besar kemungkinan respon bersyarat itu akan menurun jumlah pemicunya dan akan semakin sering tak terlihat seperti sebelumnya. Peristiwa inilah yang disebut pemadaman (extinction). 
3. Generalisasi dan Diskriminasi
Ternyata respon bersyarat ini juga dapat di kenakan pada kejadian lain, namun situasinya mirip. Inilah yang disebut generalisasi stimulus. Misalnya seorang pemuda mencintai seorang gadis dan ia merasa bahagia bertemu gadis tersebut. Pada saat dia mengetahui bahwa gadis tersebut menyukai warna pink maka pria itu akan merasa bahagia ketika menjumpai benda benda apa saja yang berwarna pink. Bila suatu makhluk mengadakan generalisasi (menyamaratakan), maka ia akan juga dapat melakukan diskriminasi atau pembedaan. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita jumpai, misalkan anak kecil yang merasa takut padaanjing galak tentu akan memberi respon takut pada setiap anjing. Tetapi melalui pengamatan dan penguatan diferensial, maka rentang stiulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.

B. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Asri (2008:21), Thorndike mengatakan belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (connectionism).
Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2010:65) Eksperimen Pavlov juga memberikan inspirasi bagi para peneliti di Amerika seperti Throndike. Throndike melakukan eksperimen hubungan S-R dengan hewan kucing, eksperimennya yaitu:
1. Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng yang dilengkapi alat pembuka bila disentuh.
2. Diluar kotak ditaruh daging. Kucing didalam kerangkeng bergerak kesana kemari mencari jalan untuk keluar tetapi gagal. Keadaan ini berlangsung terus menerus.
3. Pada suatu ketika kucing tanpa sengaja menekan tombol pembuka pintu, pintu di kotak kerangkeng akhirnya terbuka dan kucing dapat memakan daging di depannya.
Percobaan Throndike dilakukan berulang-ulang, danpola gerakan kucing sama namun semakin lama kucing dapat membuka pintu kerangkeng hanya dengan nmenyentuh tombol pembuka (sekali usaha, sekali terbuka). Throndike menyatakan bahwa prilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus yang ada dilingkungan sehingga menimbulkan respon secara refleks. Dari eksperimen ini Throndike mengambang kan hukum law effect. Hukum law effect menyatakan bahwa jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahaan yang memuaskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali dan akan semakin meningkat. Sebaliknya jika tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan itu akan menurun atau tidak akan dilakukan sama sekali.


C. Teori Belajar Menurut Skinner
Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2010:67), Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di Susquehanna. Skinner memulai penemuan teori belajarnya dengan kepercayaannya bahwa prinsip prinsip kondisioning klasik hanya sebagian kecil dari prilaku yang bisa di pelajari. Menurut Gredler dalam (Bahruddin dan Wahyuni, 2010:67) Skinner mendefinisikan belajar sebagai proses perubahan prilaku. Perubahan prilaku yang dicapai sebagai hasil belajar terersebut melaliu proses penguatan prilaku yang muncul,yang disebut kondisioning operan. Kondisioning operan memiliki enam konsep, yaitu:
1. Penguatan positif dan negatif
2. Shapping, prosses pembentukan tingkah laku yang makin mendekati tingkah laku yang di inginkan (Eveline Siregar dan Hartini Nara 2010:28). Menurut Bahruddin dan Wahyuni 2010:75 Adapun langkah langkah dalam pemberian shapping adalah:
a. Memilih tujuan yang akan dicapai.
b. Mengetahui kesiapan belajar siswa.
c. Mengembangkan sejumlah langkah yang akan memberikan bimbingan kepada siswa untuk menyesuaikan kemampuan siswa.
d. Memberi feedback terhadap hasil belajar siswa.
3. Pendekatan suksesif, proses pembentukkan tingkah laku yang menggunakan penguatan pada saat yang tepat, hingga respons pun sesuai dengan yang diisyaratkan.
4. Extinction, proses penghentian kegiatan sebagai akibat ditiadakannya penguatan (Eveline Siregar dan Hartini Nara 2010:28). 
5. Chaining of response, respon dan stimulus yang berkaitan satu sama lain.
6. Jadwal penguatan, variasi peberian pengaturan: rasio tetap dan bervariasi, interval tetap dan bervariasi.
Skinner mendapatkan teori ini berdasarkan percobaan yang ia lakukan dengan objek berupa seekor tikut yang ditempatkan dalam sebuah peti yang disebut dengan Skinner Box. Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2010:69) kotak Skinner ini berisi dua macam komponen pokok, yaitu manipuladium dan alat pemberi reinforcemet yang antara lain berupa wadah makanan. Manipuladium adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinfocement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Menurut Bahruddin dan Wahyuni (2010:69) dalam eksperimen tadi mula-mula tikus mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Tingkah laku ini di sebut  emmited behavior. Kemudian salah satu tingkah laku tikus (seperti cakaran kaki, sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya. Butir-butir makanan merupakan reinforcer bagi tikus yang telah menekan pengungkit. Penekanan pengungkit ini lah yang disebut dengan tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinfocement, yaitu penguatan berupa butiran-butiran makanan ke dalam wadah makanan.
Menurut Asri (2008:23), konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang diberikan oleh seseorang/siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab, pada dasrnya stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagaai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demkian seterusnya.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sing kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal  yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus. Tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.

D. Teori Belajar Menurut Albert Bandura
Menurut Wina Sanjaya (2010:236), bandura menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku, lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking), Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model) Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar). Pemrosesan kode-kode simbolik. Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku.
Selain itu proses perhatian (atention) sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan) memegang peranan penting. Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan  penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
Lebih lanjut penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita. Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur,guru,dosen, guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Perbedaan Aliran Behavioristik dan Kognitif Menurut Wina Sanjaya (2010:237)
Teori Belajar Behavioristik Teori Belajar Kognitif
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan bagian-bagian
Mengutamakan peranan reaksi
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
Mementingkan pembentukan kebiasaan
Memecahkan maslah dilakukan dengan cara “trial and error” Mementingkan apa yang ada di dalam diri
Mementingkan keseluruhan
Mengutamakan fungsi kognitif
Terjadi keseimbangan dalam diri
Tergantung pada kondisi saat ini
Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
Memecahkan masalah didasarkan kepada “insight”
4.3 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembeajaran
Menurut Asri (2008:27), aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhiarah pengembangan teoridan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsure-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaran pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, Bahkan sampai di Perguruan Tinggi, Pembentukan Perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga beajar adalah prolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan ang diajarkan. Artinya, apa yang diahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisis atau dipilah, sehingga makna yang dihasilka drip roses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapid an teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, keta’atan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yng harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga control belajar arus dipegang oleh system yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian kekeseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktifitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut itu. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil beajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi kemampuan siswa secara individual.
Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya Irawan dalam (Asri, 2008:29) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) siswa
3. Menentukan materi pembelajaran
4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik, dsb
5. Menyajikan materi pelajaran
6. Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas
7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa
8. Memberikan pemuatan/reinforcement (mungkin pemuatan positif ataupun pemuatan negatif, ataupun hukuman)
9. Memberikan stimulus baru
10. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa
11. Memberikan pemuatan lanjutan atau hukuman
12. Demikian seterusnya
13. Evaluasi pembelajaran 

BAB 5
TEORI BELAJAR ALIRAN KOGNITIVISME

5.1 Teori Belajar Kognitif
Menurut Suyono (2011:73-74), kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Teori kognitif diawali oleh perkembangan psikologi gestalt yang dipelopori oleh Marx Wertheimer, yang kehadirannya dapat dirunut ke masa yunani kuno, berawal dari filsafat plato dan Aristoteles. Namun, yang disebut sebagai pengembang teori ini adalah Jean Piaget, seorang ahli psikologi perkembangan kelahiran Swiss. Akan tetapi Piaget juga memegang peranan penting dalam teori konstruktivisme. Nama ahli lain para pionir aliran kognitivisme adalah Kurt Lewin, Jerome S. Bruner, Robert M. Gagne, dan David P. Ausubel.
Menurut Suyono (2011:75-76), teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Teori ini menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosidan aspek kejiwaan lainnya. Belajar juga merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut pendekatan kognitf, dalam kaitan teori pemrosesan informasi, unsur terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki setiap individu sesuai dengan situasi belajarnya.
Menurut Nugroho (2015:291), adapun pengertian dari sistem pembelajaran kognitif adalah pemrosesan informasi pada otak, menyerap input dari dunia luar dan semua sistem lain, menginterprestasikan input tersebut serta memandu pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Model belajar kognitif merupakan model pemrosesan pengetahuan dengan menyatakan bahwa pengetahuan yang diterima terlebih dahulu di simpan pada pendaftar sensor. Pengetahuan baru yang diterima akan dibandingkan dengan kognitif yang telah dahulu ada. Pengetahuan tersebut dapat diperbaiki, ditambah, disesuaikan, digabungkan dengan pengetahuan yang baru. Beberapa tahap-tahapan kognitif: dimulai dari pengkodean (cooding) – penyimpanan (storing) – perolehan kembali (retreiving) – pemondahan informasi (transfering information).

5.2 Teori-Teori Belajar Berbasis Kognitivisme
A. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Menurut Suyono (2011:82-83), Teori perkembangan kognitif disebut pula teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan mental. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap-tahap perkembangan intelektual sejak lahir sampai dewasa. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suau proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf. Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka makin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Atas dasar pemikiran ini maka Piaget disebut-sebut cenderung menganut teori psikogenesis, artinya pengetahuan sebagai hasil belajar berasal dari dalam individu.
Menurut Piaget, setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahapan yang teratur. Proses berpikir anak merupakan suatu aktivitas gradual, tahap demi tahap dari fungsi intelektual, dari konkret menuju abstrak. Pada suatu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur kognitif tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung kepada pencapaian tahapan sebelumnya. Piaget juga terlibat dalam pengembangan konsep skemata, yaitu skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahap-tahap perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam mempresentasikan informasi secara mental.
Secara garis besar skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya dibagi dalam empat periode utama atau tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap sensori motor (berlangsung sejak lahir sampai sekitar usia 2 tahun).
Dalam dua tahun pertama kehidupannya, bayi dapat memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba, memegang, mengecap, mencium, mendengarkan dan menggerakkan anggota tubuh. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif penting muncul pada saat ini. Anak mulai memahami bahwa perilaku tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Kemampuan yang dimiliki anak-anak antara lain:
a. Melihat dirinya sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya;
b. Suka memperhatikan sesuatu lebih lama;
c. Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
2. Tahap pra-operasional (sekitar usia 2-7 tahun)
Saat ini kecenderungan anak untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya tentang realitas sangatlah menonjol. Intelektual anak dibatasi oleh egosentrisnya, yaitu bahwa ia tidak menyadari jika orang lain dapat berpandangan berbeda dengannya tentang suatu objek atau fenomena yang sama. Akibatnya sering terjadi kesalahan dalam memahami objek. Berikut adalah karakteristiknya:
a. Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok
b. Tidak mampu memusatkan perhatian kepada objek-objek yang berbeda
c. Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antar deretan.
3. Tahap operasional konkret (berlangsung sekitar 7-11 tahun)
Pada kurun waktu ini pikiran logis anak mulai berkembang. Dalam usahanya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindera. Anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkret, juga sudah menguasai pembelajaran penting, yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindera seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbdea tanpa harus mempengaruhi, misalnya kuantitas objek yang bersangkutan.
4. Tahap operasional formal (mulai usia 11 tahun dan seterusnya)
Sejak tahap ini anak sudah mampu berpikir abstak, yaitu berpikir mengenai ide, mereka sudah mampu memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka sudah dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah.

Selanjutnya Piaget juga menjelaskan bahwa perkembangan skema (schema development) adalah universal dalam urutannya, artinya semua pembelajar diseluruh dunia memang harus melewati tahap sensori motor sampai kepada tahap operasional formal. Meskipun ternyata sedikit bervariasi dalam kecepatan penyelesaian setiap tahap dan dapat memiliki berbagai bentuk. Perbedaan itu menurut Piaget disebabkan oleh empat faktor, yaitu:
1. Kematangan dari dalam (maturity);
2. Pengalaman individual dalam lingkungan tertentu seseorang itu tumbuh, dan mencakup stimulus tertentu yang secara kebetulan diperoleh seseorang;
3. Tranmisi sosial (sosialisasi melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah);
4. Pengarahan diri secara internal dan pengaturan diri (internal self direction and regulation)

Menurut Piaget, adanya informasi baru yang diperoleh dari lingkungan kemudian dicocokkan dengan skema pembelajar, hal ini menyebabkan disekuilibrium (ketidakseimbangan) pada struktur kognitif yang disebut konflik kognitif atau disonansi kognitif. Kemudian Piaget juga menyatakan bahwa setiap organisme yang ingin mengadakan adaptasi dengan lingkungannya harus mencapai keseimbangan (ekuilibrium), antara aktivitas individu terhadap lingkungan (asimilasi) dan aktivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi).
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh sebab itu, guru dalam mengajar harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik. Guru harus membantu anak, mengakomodasikan agar anak dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan sebagai bahan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya.
Menurut konsep Piaget langkah-langkah pembelajaran meliputi aktivitas sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan pembelajaran;
2. Memilih materi pelajaran;
3. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif;
4. Menentukan kegiatan belajar sesuai untuk topik-topik tersebut misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi, dan sebagainya;
5. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreativitas dan cara berpikir siswa;
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

B. Teori Perkembangan kognitif Jerome S. Bruner
Menurut Nugroho (2015:292-293), Jerome Seymour Bruner adalah guru besar di dua universitas terkemuka di dunia yaitu Harvard (AS) dan Oxford (Inggris). Yatim di usia 12 tahun dan keluarga yang sering pindah tidak menghalanginya untuk berprestasi. Bruner memiliki peran besar dalam perubahan arus utama psikologi dari behaviorisme ke kognitifisme pada dekade 1950-an dan 1960-an. Karya pentingnya yang secara eksplisit mengawali kognitifisme diterbitkan tahun 1956,  A Study In Thinking.
Gagasan utama Bruner didasarkan kategorisasi. “Memahami adalah kategorisasi, konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk kategori-kategori, membuat keputusan adalah kategorisasi.” Bruner mengemukakan ada dua metode utama dalam berpikir naratif dan paradigmatik. Dalam berpikir naratif, pikiran fokus pada berpikir yang sekuensial, berorientasi pada kegiatan, dan dorongan berpikir secara rinci. Dalam berpikir paradigmatik, pikiran melampaui kekhususan sehingga memperoleh pengetahuan yang sistematis dan kategoris. Pada mode pertama, proses berpikir seperti hal nya menghubungkan berbagai gagasan mendasar dengan cara yang logis.
Proses belajar terjadi melalui 3 tahap yaitu :
1. Enaktif; (aktivitas untuk memahami lingkungan melalui observasi langsung terhadap realitas yang terjadi)
2. Ikonik; (siswa mengobservasi realitas tidak secara langsung, tetapi melalui sumber sekunder, misalnya melalui gambar-gambar atau tulisan)
3. Simbolik; (siswa membuat abstraksi berupa teori, penafsiran analisis terhadap realita yang telah diamati dan alami, seseorang mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika)

C. Teori Perkembangan Kognitif Robert Gagne
Menurut Gredler (2011:169-170), Robert Gagne melaporkan bahwa prinsip belajar tradisional (yakni kontiguitas, hukum efek) tidak membantu dalam memperbaiki latihan. Terlepas dari validitas prinsip yang tidak terbantahkan itu yakni sebagai “mengatur kontingensi penguatan baru,”prinsip ini tidak member konstribusi bagi perencanaan pembelajaraan untuk jenis hasil belajar yang berbeda. Tiga prinsip dari pembelajaran yang efektif yang disebutkan oleh Gagne dalam analisi tugas latihan adalah: 
1. Memberikan pelajaran mengenai seperangkat tugas-tugas komponen yang diarahkan untuk membangun tugas final.
2. Memastikan bahwa setiap tugas komponen dikuasai.
3. Sukensi tugas komponen untuk memastikan transfer optimal ke tugas final.
Dengan keyakinan bahwa menganalisis tugas-tugas belajar menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan juga dapat diaplikasikan untuk belajar disekolah, Gagne mulai menganalisi pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Observasi terhadap siswa mengidentifikasikan bahwa kurangnya keberhasilan adalah disebabkan oleh kesenjangan dalam pengetahuan tentang prosedur prasyarat, seperti mencari perkalian angka yang menyederhanakan bilangan pecahan. Konsep Gagne mengenai analisis tugas belajar kedalam subkomponen dan mengidentifikasi keterampilan prasyarat yang dibutuhkan kemudian diadaptasikan untuk program pembelajaran dengan tujuan yang berbeda. 
Selain itu, prinsip desain system Gagne dijumpai dalam kerangka yang mengombinasikan desain instruksional dengan riset. Perkembangan paling baru adalah analisi tugas kognitif, yang memperluas metode analisis tugas tradisional utuk mendeskripsikan pengetaahuan yang digunakan oleh orang ahli guna melakukan tugas yang kompleks. Setelah bertugas di militer, Gagne melanjutkan risetnya dikelas dan latar pendidikan lain. Dia meneliti faktor apa yang dapat memberikan perbedaan dalam pembelajaran?. Pertama analisisnya tentang kegiatan belajar manusia membawanya ke identifikasi lima domain atau keragaman hasil belajar yang berbeda-beda yang mempresentasikan tentang prestasi manusia. Kedua, Dia mengidentifikasikan keadaan internal dan langkah pemrosesan informasi yang diperlukan untuk belajar didalam domain atau kategori itu, dan ketiga, persyaratan untuk pembelajaran yang mendukung belajar. Terakhir, pedoman untuk desain pembelajaran juga memuat criteria seleksi media.

D. Teori Perkembangan Kognitif David Ausubel
Menurut  Otoni (2013:46-47), seseorang memperoleh pengetahuan terutama melalui penerimaan bukannya melalui penemuan. Ausubel menekankan bahwa apa yang diketahui sebagai meaningful terjadi secara bersamaan. Ausubel juga mengajukan suatu model pengajaran ekspositori untuk mendorong pembelajaran yang bermakna, bukan melalui belajar cepat. Eksposition artinya menjelaskan, atau menyajikan fakta-fakta atau ide-ide.
Ausubel menggunakan istilah advanced organizers artinya kesadaran siswa terhadap  struktur pengetahuan yang sedang dimilikinya sehingga informasi baru  dapat dikaitkan  dengan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa dapat menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bukan ubjek ini mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel mengatakan bahwa ada dus jenis belajar, yaitu belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna adalah suatu proses dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.belajar akan bermakna bila siswa mengaitkan informasi baru pada konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu.
Berdasarkan pada pandangannya mengenai teori belajar bermakna, maka David Ausubel mencetuskan empat tipe belajar, yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3. Belajar menerima, yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimilikinya.
4. Belajar menerima yang tidak bermakna yaiftu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sesuai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang lain yang telah ia miliki.

5.3 Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Menurut Nugroho (2015:299), dalam aplikasinya guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, sebab anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
Menurut Sukardjo (2010:48), hakekat belajar teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik, sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia prasekolah dan  awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
6. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.


BAB 6
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

6.1 Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Menurut Slavin (dalam Trianto, 2007:27) bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus  bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Slavin (dalam Trianto, 2007:27) guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya.
Slavin Mengungkapkan (dalam Trianto, 2007:27) pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan teori bahwa siswa kooperatif secara intesnif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temannya.  Contoh aplikasi pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran adalah siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu antara lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri 4 atau 5 siswa, campuran siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa tetap berada dalam kelompoknya selama beberapa minggu. Mereka diajarkan keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik didalam kelompoknya, selama kerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang ditugaskan guru dan saling membantu teman sekolompok mencapai ketuntasan belajar.

6.2 Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar
Menurut Brunner (dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2010:115) pendekatan konstruktivisme dalam belajar dan pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi perilaku yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam psikologi pendidikan behavoral. Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara  aktif “membangun” pengetahuan dan keterampilannya.
Berbeda dengan aliran behavioristik, konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi  makna pada pengetahuan sesuai pengalaman. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap.
Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah  membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudia hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Esensi dari teori konstruksi ini adalah ide. Siswa harus menemukan dan mentrensformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkontruksi’, bukan ‘menerima’ pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Slavin (dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2010:116) ia menyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran  dikelas. Guru dapat memfasilitasi proses dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.

6.3 Tokoh-Tokoh Aliran Konstruktivisme
Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif kearah perkembangan terjadi katika konsep-konsep yang sudah ada mulai bergeser karena adanya sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidakseimbangan (dissequilibrium). Berikut ini akan dibahas konsep Jean Piaget dan Vygotsky tentang belajar yang merupakan dasar bagi pendekatan konstruktivisme dalam belajar.

A. Konsep Belajar Konstuktivisme Jean Piaget
Menurut Piaget (dalam Baharuddin dan Wahyuni,
2010:118), manusia memiliki struktur pengetahuan
dalam otaknya seperti sebuah kotak yang masing-
masing mempunyai maka yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia. oleh karena itu, pada saat manusia belajar, menurut Piaget, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.
Proses informasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses inilah, manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur-struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau pengatahuan tersebut.
Proses adaptasi adalah peroses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menggabungkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima manusia. Kedua, mengeubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan yang baru, sehingga akan terjadi keseombangan. Menurut Nurhadi (dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2010:118), dalam peroses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar, yaitu skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
1. Skemata
Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah.
2. Asimilasi
Menurut Slavin (dalam Trianto, 2007:22) bahwa asimilasi  merupakan penginterpretasikan pengalaman-pengalaman baru dengan skema yang ada. Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru ketika seseorang memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau perilaku yang sudah ada. Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi atau memungkinkan perubahan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses kognitif individu dalam usahanya mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsung terus-menerus dalam perkembangan kehidupan intelektual anak.
3. Akomodasi
Menurut Slavin (dalam Trianto, 2007:22) Akomodasi adalah pemodifikasian skema-skema yang ada untuk mencocokkannya dengan situasi-situasi baru. Akomodasi adalah suatu peroses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Jadi, pada hakikatnya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata.
4. Equilibrium
Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur yang stabil, artinya adanya keseimbangan antar proses asimilasi dan proses akomodasi. Seandainya hanya terjadi proses asimilasi secar kontinu, maka yang bersangkutan hanya akan memiliki beberapa skemata global dan ia tidak mampu melihat perbedaan antara berbagai hal. Sebaliknya, apabila hanya terjadi proses akomodasi yang terjadi secara kontinu, maka individu hanya akan memiliki skemata-skemata yang kecil saja, dan mereka tidak memiliki skemata yang umum, sehingga individu tersebut tidak akan bisa melihat persamaan-persamaan berbagai hal. Inilah sebabnya, adanya keserasian antara aksimilasi dan akomodasi yang oleh Jean Piaget disebut keseimbangan atau equilibrium.
Menurut Piaget (dalam Aunurrahman, 2008:45), dalam teorinya Piaget menemukan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
Berkaitan dengan perkembangan moral, Piaget menemukan dua tahap perkembangan yang dialami oleh setiap invidu. Tahap perkembangan itu ialah:
1. Tahap Heterenomous atau tahap Realisme Moral 
Dalam tahap ini seorag anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten untuk itu.
2. Tahap Autonomous Morality atau Independensi Moral
Dalam tahap ini seorang anak akan memandang perlu untuk memodifikasi aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi  dan kondisi yang ada.
Dalam pandangan Piaget tahap-tahap kognitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik berikut:
1. Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan permasalahan yang sama.
2. Perbedaan cara berpikir antara anak satu dengan yang lain seringkali dapat dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berpikir yang saling berbeda. Dalam hal ini ada serangkaian langkah yang konsisten dalam kerangka berpikirnya, dimana tiap-tiap anak akan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.
3. Masing-masing cara berpikir akan membentuk satu kesatuan yang terstruktur. Ini berarti pada tiap tahap yang dilalui seorang anak akan diatur sesuai dengan cara berpikir tertentu. Piaget mengakui bahwa cara-cara berfikir, atau struktur tersebut pada dasarnya mengendalikan pemikiran yang berkembang.
4. Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu integrasi hirarkis dari apa yang telah dialami sebelumnya.
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2010:47) Piaget juga meyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam empat tahapan. Masing-masing tahap berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbeda-beda. Menurut Piaget, semakin banyak informasi tidak membuat pikiran anak lebi maju. Kualitas kemajuannya berbeda-beda. Tahapan Piaget itu adalah fase sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal.

No Tahap Umur Keterangan
1 Tahap Sensorimotor Dari kelahiran sampai usia 2 tahun Bayi membangun pemahaman dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman indrawi dan tindakan fisik. Bayi melangkah maju dari tindakan instingtual dan refleksif saat baru saja lahir ke pemikiran simbolis menjelang akhir tahap ini.
2 Tahap Pra-operasioanl Usia 2-7 tahun Anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata dan gambar. Kata dan gambar ini merefleksikan peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui koneksi informasi indrawi dan tindakan fisik.
3 Tahap Operasional Konkret Usia 7-11 tahun Anak mulai bisa bernalar secara logis tentang kejadian-kejadian konkret dan mampu mengklasifikasi objek kedalam kelompok yang berbeda-beda.
4 Tahap Operasional Formal Usia 11 tahun sampai dewasa Remaja berpikir secara lebih abstrak, idealistis, dan logis.

B. Konsep Belajar Konstuktivisme Vygotsky
Menurut Vygotsky (dalam Baharuddin dan Wahyuni, 
2010:124), belajar adalah sebuah peroses yang melibatkan
dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan peroses 
secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, peroses secara
psikososial sebagai peroses yang lebih tingi dan esensinya 
berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga ,
munculnya perilaku seseorang adalah karena intervening kedua elemen tersebut.
Keterlibatan alat indra dalam menyerap stimulasi dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik-psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar. Pengetahuan yang telah ada sebagai hasil dari proses elemen dasar ini akan lebih berkembang ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya mereka. Oleh karena itu, Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi perkembangan belajar seseorang. 
Menurut Vygotsky (dalam santrock, 2010:62) Vygotsky mengajukan gagasan yang unik dan kuat tentang hubungan antara pembelajaran dan perkembangan. Ide ini secara khusus merefleksikan pandangannya bahwa fungsi kognitif bersal dari situasi social. Salah satu ide unik Vygotsky adalah konsepnya tentang zone of proximal development.
1. Zone Of Proximal Development
Zone of proximal development (ZPD) adalah istilah Vygotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang dewasa atau anak yang lebih mampu. Jadi, batas bawah dari ZPD adalah tingkat problem yang dapat dipecahkan oleh anak seorang diri. Batas atasnya adalah tingkat tanggung jawab atau tugas tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan dari instruktur yang mampu.
2. Scaffolding
Scaffolding merupakan sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. memberikan dukungan dan bantuan kepada seorang kepada sorang anak yang sedang pada awal belajar, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan tersebut setelah anak mampu untuk memecahkan problem  dari tugas yang dihadapinya. Ini ditunjukan agar anak dapat belajar mandiri. Selama sesi pengajaran, orang yang lebih ahli (guru,atau murid yang lebih mampu) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai. Ketika tugas yang akan dipelajari si murid adalah tugas yang baru, maka orang yang lebih ahli dapat menggunakan teknik instruksi langsung. Saat kemampuan murid meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan.
3. Bahasa dan Pemikiran
Vygotsky percaya bahwa anak-anak menggunakan bahasa bukan hanya untuk komunikasi social, tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri. Penggunaan bahasa untuk mengatur diri senidiri ini dinamakan “pembicaraan batin” (inner speech) atau pembicaraan privat (private speech). Vygotsky percaya bahwa bahasa dan pemikiran pada mulanya berkembang sendiri-sendiri lalu kemudian bergabung.

Menurut Vygotsky (dalam Baharuddin dan Wahyui, 2010:125), fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan atau komunikasi dan kerja sama di antara individu-individu (sosialisasi) sebelum akhirnya itu berada dalam dalam diri individu (internalisasi). Oleh karena itu, pada saat seseorang berbagi pengetahuan dan orang lain, dan akhirnya pengetahuan itu menjadi pengetahuan personal, disebut dengan “private speech”.
Menurut Vygotsky, pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif telah melahirkan konsep perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif ini berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya. Karena bahasa merupakan kekuatan bagi perkembangan mental manusia, untuk itu Vygotsky membagi perkembangan kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap (Ellison dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2010:126), yaitu preintellectual speech, naive psychology, egocentric speech, dan inner speech.
Preintellectual speech, yaitu tahap awal dalam perkembangan kognitif ketika manusia baru lahir, yang ditunjukan dengan adanya peroses dasar secara biologis yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk yang lebih sempurna. Manusia dilahirkan dengan kemampuan bahasa untuk digunakan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga perkembangan bahasa menjadi lebih maksimal.
Naive psychology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak ‘mengeksplore’ atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap ini, anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah dapat mengucapkan beberapa kata dalam berbicara.
Egocentric speech. Tahap ini terjadi ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini, anak selalu melakukan percakapan tanpa mempedulikan orang lain atau apakah orang lain mendengarkan mereka atau tidak. Inner speech. Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam mengarahkan perilaku seseorang.

6.4 Strategi Belajar Konstruktivisme
Pendekatan belajar konstruktivisme memiliki beberapa strategi dalam proses belajar. Strategi-strategi belajar (Slavin dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2010:127) tersebut adalah:
A. Top-down processing
Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa belajar dimulai dari masalah kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan.
B. Cooperative learning
Yaitu strategi yang digunakan untuk proses belajar, dimana siswa akan lebih mudah menemukan secara koomprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang dihadapi. Cooperative learning ini lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan kelompok belajar sebagi tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang pengetahuan yang dimiliki individu. Inilah kunci dari konsep-konsep dasar yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky.
C. Generative learning
Strategi ini menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Selain itu, generative learning juga mengajarkan sebuah metode yang untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa yang sedang dipelajari.

6.5 Prinsip Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut Carvin (dalam Suyono dan Hariyanto, 2013:117) prinsip dasar dari konstruktivisme yang harus dipegang oleh pengajar adalah bahwa siswa lebih baik belajar dengan berbuat (learning by doing) daripada belajar dengan mengamati. Sehingga ada 12 prinsip pokok dalam praktik pembelajaran konstruktivis yang meliputi :
1. Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa
2. Menggunakan data kasar dan data primer bersama-sama dengan bahan-bahan manipulative, interaktif, dan fisik
3. Dalam perencanaan pembelajaran, guru menggunakan istilah kognitif seperti klasifikasi, analisis, dan menciptakan/membentuk/membangun
4. Menyertakan respon siswa untuk mendorong pembelajaran, mengubah strategi pembelajaran, dan mengubah isi (pokok bahasan)
5. Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep sebelum para siswa melakukan praktik saling berbagi (sharing) pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut
6. Mendorong siswa agar terlibat aktif dalam dialog, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa
7. Mendorong timbulnya sikap inkuiri (menemukan, menyelidiki) siswa dengan jalan bertanya tentang sesuatu yang menuntut berpikir mendalam dan kritis, pertanyaan berujung terbuka (open-ended questions) dan mendorong siswa untuk saling bertanya dengan sesama temannya
8. Mengelaborasi, mengembangkan respon awal siswa
9. Melibatkan siswa dalam pengalaman-pengalaman belajar yang dapat membangkitkan kontradiksi dengan hipotesis awal yang dibuatnya, kemudian mendorong terjadinya diskusi yang intens
10. Menyediakan waktu tunggu setelah mengajukan sejumlah pertanyaan, untuk memberi kesempatan siswa berpikir
11. Menyediakan waktu bagi siswa untuk membangun hubungan antara pengetahuan baru dengan struktur kognitif awalnya dan menciptakan analogi atau kiasan-kiasan
12. Memelihara dan mengembangkan sikap keingintahuan alamiah siswa dengan menggunakan sesring mungkin siklus belajar.

6.6 Dampak Teori Belajar Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran
Menurut Suyono dan Hariyanto (2013:122) Dampak teori konstruktivisme secara umum merupakan gabungan penerapan baik dari konsep Piaget maupun Vygotsky terhadap pembelajaran, anatara lain dapat berkenaan dengan : 
No Kategori Dampak
1 Tujuan Pendidikan Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
2 Kurikulum Konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum yang distandarisasikan. Oleh karena itu, lebih diperlukan kurikulum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan kurikulum yang lebih menekankan keterampilan pemecahan masalah (hands-on problem solving), dengan kata lain kurikulum harus dirancang sedemikian rupa, sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupun keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
3 Pengajaran Pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antarfakta-fakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa. Pengajar harus menyusun strategi pembelajarannya dengan memperhatikan respon/tanggapan dari siswa serta mendorong siswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkan informasi. Guru juga harus berupaya dengan keras menghadirkan pertanyaan berujung terbuka (open-ended questions) dan mendorong tejadinya dialog yang ekstensif antarsiswa. Dalam konsep ini sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator, mediator dan teman (mitra belajar) yang membangun situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik.
4 Pembelajaran Diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
5 Penilaian Konstruktivisme tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Namun, justru memerlukan suatu penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran (penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. Hal ini merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio sebagai model penilaian. Portofolio secara ringkas dapat dimaknai sebagai bukti-bukti fisik (hasil ujian, makalah, hasil keterampilan, piagam, pila, catatan anekdot dan lain-lain) hasil belajar atau hasil kinerja siswa.


BAB 7


7.1 Teori Belajar Menurut Jhon Dewey
Jhon Dewey  mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Menurut Jhon Dewey dalam bukunya Democracy and Education, pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnnya. Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk kedalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa. Menurut Sugihartono dkk, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Teori pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan konstruktivistik.
Perbedaan antara teori gestalt dengan konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik tersebut adalah permasalahan yang muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau dapat dikatakan sebagai faktor internal. Faktor internal tersebut yang akhirnya memunculkan suatu permasalahan. Teori konstruktivistik dipelopori oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni John Dewey. Dikutip dari (http://ekacantikmtk.blogspot.co.id/2016/03/teori-belajar-menurut-para-ahli.html, diakses 30 Oktober 2017).  

John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral pesertadidik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous. Selanjutnya John Dewey menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
1. Tahap premoral adalah tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
2. Tahap convention adalah seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
3. Tahap autonomous adalah seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
A. Metode Pengajaran Jhon Dewey
Menurut John Dewey metode reflektif  di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu  proses  berpikiraktif,  hati-hati, yang dilandasi proses berpikir  kearah kesimpulan-kesimpulan  yang definitif melalui  lima langkah yaitu :
1. Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2. Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4. Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
5. Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang  dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bila mana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.

Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antara masalah dan hipotesis kearah pembuktian, kearah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positif adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi. Dikutip dari (http://ekacantikmtk.blogspot.co.id/2016/03/teori-belajar-menurut-para-ahli.html, diakses 30 Oktober 2017).  
B. Aplikasi Teori Kognitif Jhon Dewey Pada Pembelajaran Siswa
Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori belajar kognitif adalah :
1. Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa  sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat direkontruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah sering kali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.


Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
2. Memberi kesempata kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3. Memberi kesempatan kepada siswa  untuk mencoba gagasan baru.
4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dikutip dari (Rima, 2015, Makalah Teori Belajar Jhon Dewey, http://rima-putri13.blogspot.co.id/2015/01/teori-belajar-john-dewey.html, diakses 30 Oktober 2017).

7.2 Teori Belajar Menurut Joy  Paul Guilford

Teori Guilford banyak membicarakan mengenai struktur intelejensi/kecerdasan seseorang  yang  banyak mengarah pada kretivitas seseorang. Guilford menerangkan kecerdasan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini, yang namanya belajar adalah termasuk berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau faces of intellect, yaitu:
1. Operasi Mental (Proses Berfikir)
a) Kognisi adalah menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru.
b) Memori Retensi adalah ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
c) Memori Recording adalah kemampuan mengodekan informasi untuk diingat secara segera.
d) Produksi Divergen adalah berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/alternatif.
e) Produksi Konvergen adalah berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif.
f) Evaluasi adalah mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat atau  memadai.

2. Content (Isi yang Dipikirkan)
a) Figural Auditory yaitu informasi yang dirasakan melalui pendengaran.
b) Figural Visual yaitu informasi yang dirasakan melalui melihat.
c) Simbolik yaitu informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi.
d) Semantic yaitu  informasi yang terkandung dalam kata-kata verbal seperti komunikasi dan berfikir, atau dalam memahami gambar.
e) Perilaku yaitu informasi berupa tindakan individu.

3. Product (Hasil Berfikir)
a) Unit/satuan merupakan satu item informasi.
b) Kelas merupakan satu set item yang dikelompokkan berdasarkan karateristik umum.
c) Relasi/Hubungan yaitu keterkaitan antar informasi.
d) Sistem merupakan produk yang saling berhubungan atau strukturnya terorganisasi.
e) Transformasi merupakan perubahan informasi yang ada sesuai fungsinya.
f) Implikasi merupakan prediksi, kesimpulan, konsekuensi khusus dari informasi.
Dikutip dari (Eka. Makalah Teori Belajar Menurut Para Ahli, http://ekacantikmtk.blogspot.co.id/2016/03/teori-belajar-menurut-para-ahli.html, diakses 30 maret 2016).

A. Implikasi Teori Guilford Dalam Pembelajaran Matematika
Dalam menyelesaikan soal pembelajaran matematika dapat menerapkan soal-soal open-ended kepada siswa, dari jawaban yang diberikan siswa dapat dibuktikan bahwa kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban adalah berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru maupun pengalaman pribadinya. Kreatifitas seorang siswa dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyelesaikan suatu persoalan dengan ide kreatif tanpa bersumber pada satu teori saja, sehingga memunculkan banyak ide dari berpikir kreatifnya.
Pada kinerja seseorang pada tes kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar kemampuan mental atau faktor kecerdasan seseorang itu sendiri.Berfikir kreatif yang terjadi pada siswa tergantung pada kemampuan dirinya untuk mewujudkan ide/ gagasannya yang timbul pada hati nurani untuk mewujudkan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Dikutip dari (Friska, 2015. Makalah Teori Inteligensi Guilford, http://11106fris.blogspot.co.id/2012/03/teori-inteligensi-guilford.html, diakses 29 Oktober 2017).
B. Kelebihan dan Kelemahan Teori Inteligensi Guilford
Teori Guilford ini pun tidak luput dari kontroversi dan kritikan dari beberapa pihak. Berikut ini akan diungkapkan beberapa kelebihan dan kelemahan dari teori inteligensi Guilford.
Kelebihan-kelebihan teori inteligensi Guilford:
1. Teori ini memberikan implikasi yang penting bagi teori psikologi umumnya, terutama apabila dapat meletakkannya sebagai suatu kerangka pemikiran guna memperoleh pandangan baru terhadap konsep-konsep psikologi, seperti proses belajar, pemecahan masalah dan kreativitas.
2. Dalam pembelajaran, teori ini memberikan implikasi positif berupa pembelajaran yang kreatif.
3. Model Guilford ini memberikan suatu jalan untuk mengorganisasikan kemampuan-kemampuan dalam kurikulum, terutama pada penentuan kemampuan-kemampuan mana yang perlu mendapat perhatian.
4. Teori ini merupakan mata rantai studi inteligensi dengan menggunakan pengetahuan tentang belajar, psikolinguistik, pikiran dan sebagainya sebagai pembagian tugas intelektual.
5. Teori ini meliputi bidang-bidang fungsi intelektual yang terlokalisasi dengan sedikit sekali terwakili oleh tes-tes inteligensi standar. Sebagai contoh, banyak tes-tes inteligensi yang hanya mengukur pemikiran konvergen yang hanya memiliki jawaban yang benar.
6. Teori ini mendapatkan penerimaan luas dari para pendidik dan beberapa pihak yang memiliki pandangan kurang menyenangkan terhadap faktor ‘g’ Spearman.
Kelemahan-kelemahan teori inteligensi Guilford:
1. Teori ini dianggap terlalu berlebihan/kompleks dan melanggar aturan parsimony.
2. Kemampuan-kemampuan inteligensi dalam teori ini belum seluruhnya dapat dibuktikan secara empiris.
3. Guilford menggunakan metode rotasi ortogonal, meskipun data dan penelitian sebelumnya jelas menuntut rotasi miring (oblique)
4. Beberapa ahli tidak dapat mereplikasi hasil Guilford pada analisis ulang, mendorong mereka mempertanyakan reliabilitas instrumen itu. Meskipun pada tahun 1985 merevisi model SOI untuk mengatasi kekurangan ini.
Guilford Dikutip dari (Ertiana, 2012, Makalah Joy Paul Guilford dan Teori Inteligensi, http://ertianafpsi11.web.unair.ac.id/artikel_detail45656InteligensiJoy%20Paul%20Guilford%20dan%20Teori%20Inteligensi%20.html diakses 29 Oktober 2017).
7.3 Teori Belajar Menurut Van Hiele
Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof dalam disertasi terpisah di Universitas Utrecht pada tahun 1957, adalah orang yang pertama kali mengembangkan Teori pembelajaran van Hiele. Teori ini menjelaskan mengenai perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Teori pembelajaran van Hiele telah diakui secara internasional. Tahap berpikir menurut Van Hiele adalah kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran. Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata. Dalam perkembangan berpikir, van Hiele menekankan pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa tidak akan berhasil jika hanya belajar dengan menghapal fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan, melainkan siswa harus menentukan sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan antara konsep-konsep geometri. Dikutip dari (Tulus, 2012, Makalah Teori Belajar Menurut Van Hiele, https://tuluskusnul.wordpress.com/2012/12/20/makalah-teori-belajar-menurut-van-hiele/, diakses tanggal 30 Oktober 2017).
A. Tahap Pemahaman Geometri menurut Van Hiele
Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele ada tiga unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran, jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi. Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954),yang menguraikan tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui peserta didik dalam pembelajaran geometri, yaitu :
1. Level 0 (Tingkat Visualisasi)
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, peserta didik memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini peserta didik sudah mengenal nama sesuatu bangun, peserta didik belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini peserta didik tahu suatu bangun bernama persegipanjang, akan tetapi peserta didik belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.

2. Level 1 (Tingkat Analisis)
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini peserta didik sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini peserta didik sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.

3. Level 2 (Tingkat Abstraksi)
Tingkat ini disebut juga tingkat relasional. Pada tingkat ini, peserta didik sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudahmemahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini peserta didik sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.

4. Level 3 (Tingkat Deduksi Formal)
Pada tingkat ini peserta didik sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini peserta didik sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini peserta didik sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.

5. Level 4 (Tingkat Rigor)
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, peserta didik mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, peserta didik memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain karena bergantung pada proses belajar yang dilalui siswa. Dikutip dari (Tulus, 2012, Makalah Teori Belajar Menurut Van Hiele, https://tuluskusnul.wordpress.com/2012/12/20/makalah-teori-belajar-menurut-van-hiele/, diakses tanggal 30 Oktober 2017).
B. Fase – Fase Pembelajaran Geometri
Teori pembelajaran van Hiele adalah model pembelajaran yang melibatkan lima fase (langkah), yaitu: informasi (information), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free orientation), dan integrasi (integration). Model pembelajaran ini umumnya digunakan pada pembelajaran Matematika, bahasan geometri.

1. Fase 1: Informasi (information)
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa.Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi.Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimilikipeserta didik, misalnya apa itu kubus, apa itu luas permukaan, apa itu volume, dan seterusnya. Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untukmempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil, dipihak peserta didik, peserta didik mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya.

2. Fase 2: Orientasi langsung (directed orientation)
Peserta didik meneliti materi pelajaran melalui bahan ajar (alat-alat) yang dirancang guru. Guru mengarahkan peserta didik untuk meneliti obyek-obyek yang dipelajari. Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus peserta didik. Misalnya, guru meminta peserta didik mengamati alat peraga berbentuk kubus dan balok. 

3. Fase 3: Penjelasan (explication)
Berdasarkan pengalaman sebelumnya peserta didik menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu untuk membantu peserta didik menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan seminimal mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir ini mulai tampak nyata.

4. Fase 4 : Orientasi bebas (free orientation)
Peserta didik menghadapi tugas-tugas yang lebih komplek berupa tugas yang memerlukan banyak langkah. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi diantara para peserta didik dalam bidang investigasi, banyak hubungan antara obyek-obyek yang dipelajari menjadi jelas.

5. Fase 5 : Integrasi (Integration)
Kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok. Guru menuliskan temuan baru peserta didik yang mendukung atau menyimpang dari kesepakatan sementara. Guru membimbing peserta didik untuk melakukan koreksi terhadap kesepakatan sementara. Dengan bimbingan guru, peserta didik memberikan definisi/pengertian kemudian menyimpulkan. Peserta didik meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survei secara global terhadap apa-apa yang telah dipelajari peserta didik. Tujuan kegiatan belajar fase ini adalah menggali pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didiskusikan serta meningkatkan pemahaman siswa. Hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya menetapkan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi.
C. Manfaat Teori Van Hiele Dalam Pengajaran Geometri
Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan oleh Piafet dan Dienes karena ia hanya mengkhususkan pada pengajaran geometri saja.Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan:

1. Guru dapat mengambil manfaat dari fase-fase perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele, dengan mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupakan balok, karena anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah.
2. Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, bahwa pengajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap perkembangan berpikir anak itu sendiri.
3. Agar topik-topik pada materi geometri dapat dipahami dengan baik dan anak dapat mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya yang dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks.
7.4 Teori Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom adalah suatu kerangka yang merujuk pada tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali dicetuskan Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan pemahamannya. Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
A. Konsep Taksonomi Bloom
Pada awalnya Bloom mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Bloom juga mengklasifikasikan tujuan kognitif dalam enam level, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) dalam satu dimensi. Konsep tersebut mengalami perbaikan seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman serta teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom pada tahun 1990. Anderson menjelaskan bahwa dimensi proses kognitif dalam taksonomi Bloom yang baru secara umum sama dengan yang lama yang menunjukkan adanya perjenjangan, dari proses kognitif yang sederhana ke proses kognitif yang lebih kompleks. 
Hasil perbaikan ini dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama “Revisi Taksonomi Bloom”. Dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori dari kata benda menjadi kata kerja.Kata-kata kunci itu seperti:
1. Mengingat: Menghafal, mengurutkan, menjelaskan, mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi , menemukan kembali dan sebagainya.
2. Memahami: menafsirkan, meringkas, mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, membeberkan dan sebagainya.
3. Menerapkan: melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktekan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi dan sebagainya.
4. Menganalisis: menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, mengkerangkakan, menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan, menyamakan, membandingkan, mengintegrasikan dan sebagainya.
5. Mengevaluasi: menyusun hipotesis, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan, dan sebagainya.
6. Berkreasi: merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, mengubah dan sebagainya.


Dikutip dari (Aisyah, 2014, Makalah Laporan Observasi Teori Benjamin S.Bloom, http://aisyahkampus.blogspot.co.id/2014/06/lpsd-observasi-teori-benjamin-s-bloom.html diakses 30 Oktober 2017).



BAB 8


8.1 Pengertian Peranan Guru Sebagai Multidimensi 
Secara pengertian tradisional guru adalah seseorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut undang – undang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru , dosenkonselor , pamong belajar , widyaiswara , tutor , instruktur , fasilitator , berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. (Undang – undang sistem pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003  tentang sistem pendidikan nasional). Dengan menelaah dari pengertian guru diatas dapat disimpulkan bahwa seorang guru merupakan tenaga profesional yang dapat menjadikan murid – muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah yang dihadapi. Secara pengertian multidimensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) multidimensi adalah mempunyai berbagai dimensi (segi). Jadi dapat  disimpulkan,  bahwa peranan guru multidimensi adalah sesuatu perilaku yang dilakukan oleh seorang guru dimana didalam jiwa seorang guru pasti memiliki berbagai segi yang dapat dinilai oleh peserta didik atau orang lain.

8.2 Gambaran Peranan Guru Multidimensi
Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Guru Sebagai Pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Peran guru sebagai pendidik yang berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan. Oleh karena itu, tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

2. Guru Sebagai Pengajar
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika faktor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah. Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu: membuat ilustrasi, mendefinisikan, menganalisis,bertanya, merespon, mendengarkan, menciptakan kepercayaan, memberikan pandangan yang bervariasi, menyediakan media untuk mengkaji materi standar, menyesuaikan metode pembelajaran, memberikan nada perasaan.Agar pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi standar.
3. Guru Sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing perjalanan guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut:
a. Guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai.
b. Guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmani, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.
c. Guru harus memaknai kegiatan belajar.
d. Guru harus melaksanakan penilaian.

4. Guru Sebagai Pemimpin
Guru adalah pemimpin bagi siswa dalam pembelajarannya, teman-teman seprofesinya, dan bagi dirinya sendiri. Guru adalah pemimpin ketika ia sedang melaksanakan pembelajaran dikelasnya. Ia adalah pemegang kendali dan mengambil keputusan saat melaksanakan pembelajaran. Setiap saat guru harus melakukan suatu tindakan sebagaimana seorang pemimpin di dalam kelasnya. Bagi teman seprofesinya, seorang guru juga merupakan pemimpin, tentu saja bukan pemimpin dalam arti formal. Seorang guru yang profesional akan mampu menjadi seorang yang berdiri di depan menunjukkan bagaimana seharusnya menjadi guru yang berkualitas bagi guru-guru lainnya. Bagi dirinya sendiri, seorang guru juga adalah pemimpin. Apapun yang ia lakukan dalam menjalani profesinya sebagai guru tergantung bagaimana ia menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia harus dapat menentukan dan memutuskan apa yang harus ia lakukan demi menjadi guru yang baik dan profesional.

5. Guru Sebagai Pengelola Pembelajaran
Guru harus mampu menguasai berbagai metode pembelajaran. Selain itu,guru juga dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. 

6. Guru Sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang disekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru yaitu: sikap dasar, bicara dan gaya bicara, kebiasaan bekerja, sikap melalui pengalaman dan kesalahan, pakaian, hubungan kemanusiaan, proses berfikir, perilaku neurotis, selera, keputusan, kesehatan, gaya hidup secara umum. Perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri.Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.

7. Guru Sebagai Anggota Masyarakat
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkandapat berperan aktif dalam pembangunan disegala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapatmengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya. Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

8. Guru sebagai administrator 
Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Guru akan dihadapkan pada berbagai tugas administrasi di sekolah. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

9. Guru Sebagai Penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.

10. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)
Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa modern yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.

11. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas
Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.

12. Guru Sebagai Emansipator
Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, sehingga guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari hal yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moral dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.

13. Guru Sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

14. Guru Sebagai Kulminator
Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.
Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.

15. Guru Sebagai Pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar.
16. Guru Sebagai Pribadi
Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani.  Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik. Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
17. Guru Sebagai Peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Menyadari akan kekurangannya guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Sebagai orang yang telah mengenal metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni penelitian.
18. Guru Sebagai Pekerja Rutin
Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.
19. Guru Sebagai Pemindah Kemah
Hidup ini selalu berubah dan guru adalah seorang pemindah kemah, yang suka memindah-mindahkan dan membantu peserta didik dalam meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru yang bisa mereka alami. Guru berusaha keras untuk mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan serta membantu menjauhi dan meninggalkannya untuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. Guru harus memahami hal yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi peserta didiknya.
20. Guru Sebagai Pengawet
Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, karena hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan. Sarana pengawet terhadap apa yang telah dicapai manusia terdahulu adalah kurikulum. Guru juga harus mempunyai sikap positif terhadap apa yang akan diawetkan.
21. Guru Sebagai Pembawa Cerita
Guru tidak takut menjadi alat untuk menyampaikan cerita-cerita tentang kehidupan, karena ia tahu sepenuhnya bahwa cerita itu sangat bermanfaat bagi manusia. Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat pengukur. Dengan cerita manusia bisa mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang dihadapinya, menemukan gagasan dan kehidupan yang nampak diperlukan oleh manusia lain, yang bisa disesuaikan dengan kehidupan mereka. Guru berusaha mencari cerita untuk membangkitkan gagasan kehidupan di masa mendatang. Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.

8.3 Pengertian Guru yang Unggul
Secara pengertian unggul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah terbaik dari yang lain. Jadi dapat  disimpulkan,  guru yang unggul adalah adalah guru  yang berusaha melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik sesuai kemampuan dan selalu berusaha menjadi lebih baik dari yang lain. Dalam arti kata, setiap hari guru mengalami perubahan kualitas diri agar mampu bersaing untuk menjadi guru yang unggul agar disenangi oleh peserta didik sehingga membentuk pembelajaran yang efektif.

8.4 Karakteristik Guru yang Unggul
1. Setiap guru unggul mampu mengatasi setiap masalah pembelajaran. 
2. Setiap guru unggul memiliki kebiasaan positif berkenaan dengan pengajaran dan pembelajaran. 
3. Setiap guru unggul mampu mengubah pemikirannya sendiri secara berkelanjutan. 
4. Setiap guru unggul selalu bersungguh-sungguh dan sepenuh hati menjalankan profesinya. 
5. Setiap guru unggul memosisikan diri sebagai pemimpin pemelajaran dan pembelajaran.
6. Setiap guru unggul memiliki kecerdasan adversitas yang menjadikannya tahan banting. 
7. Setiap guru unggul senantiasa berkembang berkat pergaulan sejawat. 
8. Setiap guru unggul selalu berani menghadapi resiko yang berkenaan dengan profesinya. 
9. Setiap guru unggul mampu mencerdaskan siswanya melalui pengajaran, pemelajaran, dan pembelajaran. 
10. Setiap guru unggul berani menanggung kesalahan atas perbuatannya. 
11. Setiap guru unggul berani menerima tantangan dan berusaha memenanginya. 
12. Setiap guru unggul berani menggunakan kemampuan yang dimilikinya. 
13. Setiap guru unggul selalu berkarakter kuat. 
14. Setiap guru unggul selalu mampu bertanya dengan pertanyaan tingkat tinggi. 
15. Setiap guru unggul memiliki pikiran sendiri. 
16. Setiap guru unggul selalu bekerja sangat optimal.
17. Setiap guru unggul memiliki kapabilitas untuk memasuki lowongan.


BAB 9


9.1 Pengertian Strategi Pembelajaran
Menurut Suyadi (2013:13), istilah “strategi” pertama kali dikenal hanya di kalangan militer, khususnya strategi perang. Dalam sebuah peperangan atau pertempuran, terdapat seorang (komandan) yang bertugas mengatur strategi untuk memenangkan peperangan.Seiring berjalannya waktu, istilah “strategi” di dunia militer tersebut diadopsi ke dalam dunia pendidikan.Dalam konteks pendidikan, strategi digunakan untuk mengatur siasat agar dapat mencapai tujan dengan baik. Dengan kata lain, strategi dalam konteks pendidikan dapat dimaknai sebagai perencanaan yang berisi serangkaian kegiatan yang didesain utnuk mencapai tujuan pendidikan. Strategi dalam konteks pendidikan mengarah kepada hal yang lebih spesifik, yakni khusus pada pembelajaran.
Menurut Uno dan Mohamad (2012: 4-6), terdapat berbagai pendapat tentang strategi pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh para ahli pembelajaran diantaranya akan dipaparkan sebagai berikut: 

1. Kozma dan Gafur secara umum menjelaskan bahwa strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dipilih, yaitu yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran tertentu.

2. Gerlach dan Ely menjelaskan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Selanjutnya dijabarkan oleh mereka bahwa strategi pembelajaran tersebut meliputi sifat, lingkup, dan urutan kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik.

3. Dick dan Carey menjelaskan bahwa strategi pembelajaran terdiri atas seluruh komponen materi pembelajaran dan prosedur atau tahapan kegiatan yang digunakan oleh guru dalam rangka membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Menurut mereka strategi pembelajaran bukan hanya terbatas pada prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja, melainkan termasuk juga pengaturan materi atau paket program pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik.

4. Wiryam dan Noorhadi mengatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan pemilihan atas berbagai jenis latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Ia menegaskan bahwa setiap tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam kegiatan belajar, harus dapat dipraktikkan. Mengingat bahwa setiap tujuan dan materi pembelajaran berbeda satu dengan yang lainnya maka jenis kegiatan belajar yang harus dipraktikkan oleh peserta didik membutuhkan persyaratan yang berbeda pula. 

Berdasarkan beberapa pandangan tentang strategi pembelajaran di atas, selanjutnya dikemukakan pengertian baru tentang strategi pembelajaran, yaitu strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh seorang pengajar untuk menyampaikan materi pembelajaran, sehingga akan memudahkan peserta didik mencapai tujuan yang dikuasai di akhir kegiatan belajar.

9.2 Kriteria Pemilihan Strategi Pembelajaran
Menurut Uno dan Mohamad (2012: 4), pemilihan strategi pembelajaran pada dasarnya merupakan salah satu hal penting yang harus dipahami oleh setiap guru, mengingat proses pembelajaran merupakan proses komunikasi multiarah antar siswa, guru, dan lingkungan belajar. Karena itu pembelajaran harus diatur sedemikian rupa sehingga akan diperoleh dampak pembelajaran secara langsung kearah perubahan tingkah laku sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang dipilih oleh guru selayaknya didasari pada berbagai pertimbangan sesuai dengan situasi, kondisi, dan lingkungan yang akan dihadapinya. Pemilihan strategi pembelajaran umumnya bertolak dari (a) rumusan tujuan pembelajaran yang telah diterapkan, (b) analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dihasilkan, dan (c) jenis materi pembelajaran yang akan dikomunikasikan. Ketiga elemen yang dimaksud, selanjutnya disesuaikan dengan media pembelajaran atau sumber belajar yang tersedia dan mungkin digunakan.
Menurut Uno dan Mohamad (2012: 26-27), pemilihan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran harus berorientasi pada tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selain itu, harus disesuaikan dengan jenis materi, karakteristik peserta didik serta kondisi dimana proses pembelajaran terebut akan berlangsung. Terdapat beberapa metode dan teknik pembelajaran yang akan digunakan oleh guru, tetapi tidak semuanya sama efektifnya mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu dibutuhkan aktivitas guru dalam memilih strategi pembelajaran.
Menurut Mager dalam Uno dan Mohamad (2012: 27), menyampaikan beberapa kriteria yang digunakan dalam memilih strategi pembelajaran, yaitu:

1. Berorientasi pada tujuan pembelajaran. Tipe perilaku apa yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik. Berarti metode yang palingdekat  dan sesuai yang dikehendaki oleh TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) adalah latihan atau praktik langsung.
2. Pilih teknik pembelajaran sesuai dengan keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki  saat bekerja nanti (dihubungkan dengan dunia kerja).
3. Gunakan media pembelajaran yang sebanyak mungkin memberikan rangsangan pada indera peserta didik. Artinya, dalam satuan-satuan waktu yang bersamaan peserta didik dapat melakukan aktivitas fisik dan psikis. Misalnya, menggunakan OHP (Overhead Projector). Dalam menjelaskan satu bagan, lebih baik guru menggunakan OHP dari pada hanya berceramah saja, karena pengunaan OHP memungkinkan peserta didik sekaligus dapat melihat dan mendengarkan penjelasan guru.
Selain kriteria di atas, pemilihan strategi pembelajaran dapat dilakukan dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Apakah materi pembelajaran paling baik disampaikan secara klasikal (serentak bersama-sama dalam satu waktu)?
2. Apakah materi pelajaran sebaiknya dipelajari peserta didik secara individual sesuai dengan laju dan kecepatan belajar masing-masing?
3. Apakah pengalaman langsung hanya dapat berhasil diperoleh dengan jalan praktik langsung dalam kelompok dengan guru atau tanpa kehadiran guru?
4. Apakah diperlukan diskusi atau konsultasi secara individual anatara guru dan siswa?
Selanjutnya dijelaskan bahwa kriteria pemilihan strategi pembelajaran hendaknya dilandasi prinsip efisensi, dan efektivitas dalam mencapai tujuan pembelajaran dan tingkat keterlibatan peserta didik. Pada dasarnya keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tantangan yang dapat membangkitkan motivasinya dalam pembelajaran. Untuk itu, guru harus kreatif dengan mempertimbangkan berbagai komponen atau pembelajaran yang diperkirakandapat memengaruhi proses.

9.3 Jenis-Jenis Strategi Pembelajaran
A. Strategi Pembelajaran Ekspositori
Menurut Wina Sanjaya (2010: 299), strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompoksiswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Roy Killen menamakan strategi ekspositori ini dengan istilah strategi pembelajaran langsung (direct instruction), karena dalam strategi ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru.Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu.Materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Oleh karena itu, strategi ekspositori lebih menekankan kepada proses bertutur, maka sering juga dinamakan istilah strategi chalk and talk.
Strategi pembelajaran ekspositori, merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach).Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan.Melalui strategi ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik.Fokus utama strategi ini adalah kemampuan akademis (academic achievement) siswa.Metode pembelajaran dengan kuliah, merupakan bentuk strategi ekspositori.

a. Prinsip-Prinsip Penggunaan SPE
Menurut Wina Sanjaya (2010: 299-301), dalam penggunaan strategi pembelajaran ekspositori terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap guru. Setiap prinsip tersebut dijelaskan seperti berikut ini:

1. Berorientasi Pada Tujuan
Sebelum strategi ini diterapkan terlebih dahulu guru harus merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan terukur.

2. Prinsip Komunikasi
Proses pembelajaran dapat dikatakan sebagai proses komunikasi, yang menunjuk pada proses penyampaian pesan dari seseorang (sumber pesan) kepada seseorang atau sekelompok orang (penerima pesan). Pesan yang ingin disampaikan dalam hal ini adalah materi pelajaran yang diorganisir dan disusun sesuai dengan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dalam proses komunikasi guru berfungsi sebagai sumber pesan dan siswa berfungsi sebagai penerima pesan.Sistem komunikasi dikatakan efektif manakala pesan itu mudah ditangkap oleh penerima pesan secara utuh dan sebaliknya, sistem komunikasi dikatakan tidak efektif, manakala penerima pesan tidak dapat menangkap setiap pesan yang disampaikan. Sebagai suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian, maka prinsip komunikasi merupakan prinsip yang sangat penting untuk diperhatikan.

3. Prinsip Kesiapan
Dalam teori belajar koneksionisme, “ kesiapan” merupakan salah satu hukum belajar. Inti hukum belajar ini adalah bahwa setiap individu akan merespon dengan cepat dari setiap stimulus manakala dalam dirinya sudah memiliki kesiapan; sebaliknya, tidak mungkin setiap individu akan merespon setiap stimulus yang muncul manakala dalam dirinya belum memiliki kesiapan. Maka yang dapat kita tarik dari hukum belajar adalah agar siswa dapat menerima informasi sebagai stimulus yang kita berikan, terlebih dahulu kita harus memosisikan mereka dalam keadaan siap baik secara fisik maupun psikis untuk menerima pelajaran.

4. Prinsip Berkelanjutan
Proses pembelajaran ekspositori harus dapat mendorong siswa untuk mau mempelajari materi pelajaran lebih lanjut. Pembelajaran bukan hanya berlangsung pada saat itu, akan tetapi juga untuk waktu selanjutnya. Ekspositori yang berhasil adalah manakala melalui proses penyampaian dapat membawa siswa pada situasi ketidakseimbangan (disequilibrium), sehingga mendorong mereka untuk mencari dan menemukan atau menambah wawasan melalui proses belajar mandiri.

b. Prosedur Penggunaan SPE
Menurut Wina Sanjaya (2010: 301-303), beberapa langkah dalam penerapan strategi pembelajaran ekspositori, yaitu:

1. Persiapan
Dalam strategi ekspositori langkah persiapan merupakan langkah yang sangat penting.Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori sangat tergantung pada langkah persiapan. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan adalah:
a) Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif.
b) Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar.
c) Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa.
d) Menciptakan suasana pemmbelajaran yang terbuka.

2. Penyajian
Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan.Yang harus dipikirkan oleh setiap guru dalam penyajian ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan langkah ini diantaranya adalah penggunaan bahasa intonasi suara, menjaga kontak mata dengan siswa, menggunakan joke agar kelas tetap hidup dan segar melalui penggunaan kalimat atau bahasa yang lucu.

3. Korelasi 
Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Langkah korelasi dilakukan tiada lain untuk memberikan makna terhadap materi pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang telah dimilikinya, maupun makna untuk meningkatkan kualitas kemampuan berfikir dan kemampuan motorik siswa.

4. Menyimpulkan 
Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah disajikan. Langkah menyimpulkan merupakan langkah yang sangat penting dalam strategi ekspositori, sebab melalui langkah menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian. Menyimpulkan berarti memberikan keyakinan kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan. Dengan demikian, siswa tidak merasa ragu lagi akan penjelasan guru.

5. Mengaplikasikan 
Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pembelajaran ekspositori, sebab melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Teknik yang biasa dilakukan pada langkah ini diantaranya pertama, dengan membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan.Kedua, dengan memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang telah disajikan.

B. Strategi Pembelajaran Inkuiri
Menurut Wina Sanjaya (2010: 303-304), strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban yang sudah pasti dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan.Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri.Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar.Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri yang sifatnya sudah pasti dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diarahkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Dengan demikian, strategi pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilisator dan motivator belajar siswa. Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.Tujuan utama pembelajaran  melalui strategi inkuiri adalah menolong siswa untuk dapat mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka.

a. Prinsip-prinsip pelaksanaan SPI
Menurut Wina Sanjaya (2010: 304-306), SPI merupakan strategi yang menekankan kepada pengembangan intelektual anak.Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan strategi pembelajaran inkuiri.


1. Berorientasi Pada Pengembangan Intelektual
Strategi pembelajaran inkuiri ini, selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. Oleh karena itu, kriteria keberhasilan dari proses pembelajaran dengan menggunakan strategi inkuiri bukan ditentukan oleh sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran, akan tetapi sejauh mana siswa beraktivitas mencari dan menemukan sesuatu yang harus ditemukan oleh siswa melalui proses berpikir.

2. Prinsip interaksi
Pembelajaran sebagai  proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri. Guru perlu mengarahkan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi mereka. Misalnya, interaksi hanya berlangsung antarsiswa yang memiliki kemampuan berbicara saja walaupun pada kenyataannya pemahaman siswa tentang substansi permasalahan yang dibicarakan sangat kurang atau guru justru menanggalkan peran sebagai pengatur interaksi itu sendiri.

3. Prinsip bertanya 
Kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan.Berbagai jenis dan teknik bertanya perlu dikuasai oleh setiap guru, apakah itu bertanya hanya sekedar untuk meminta perhatian siswa, bertanya untuk melacak, bertanya untuk mengembangkan kemampuan atau bertanya untuk menguji.

4. Prinsip Belajar Untuk Berpikir
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Belajar yang hanya cenderung memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan memaksa anak untuk berpikir logis dan rasional akan membuat anak dalam posisi “ kering dan hampa “. Oleh karena itu, belajar berpikir logis dan rasional perlu didukung oleh pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukkan unsur-unsur yang dapat memengaruhi emosi, yaitu unsur estetika melalui proses belajar yang menyenangkan.

5. Prinsip Keterbukaan
Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya.Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukan.

b. Langkah-Langkah Pelaksanaan SPI
Menurut Wina Sanjaya (2010: 306-308), secara umum  proses pembelajaran dengan menggunakan SPI dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1. Orientasi 
Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengondisikan agar siswa siap melaksanakan  proses pembelajaran. Pada langkah orientasi dalam SPI, guru merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah.Langkah orientasi merupakan langkah yang sangat penting.Keberhasilan SPI sangat tergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Tanpa kemauan dan kemampuan itu tidak mungkin proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar.

2. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki.Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu.Dikatakan teka-teki dalam rumusan masalah yang ingin dikaji disebabkan masalah itutentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam strategi inkuiri, oleh sebab itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir. 

3. Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji.Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya.Kemampuan atau potensi individu untuk berpikir pada dasarnya sudah dimiliki sejak individu itu lahir.Potensi berpikir itu dimulai dari kemampuan setiap individu untuk menebak atau mengira-ngira dari suatu permasalahan.

4. Mengumpulkan Data
Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam strategi pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya. Oleh sebab itu, tugas dan peran guru dalam tahapan ini adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.

5. Menguji Hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Bahwa yang terpenting dalam menguji hipotesis adalah mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban yang diberikan.Di samping itu, menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akantetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.


6. Merumuskan Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Merumuskan kesimpulan merupakan gong-nya dalam proses pembelajaran. Sering terjadi, oleh karena banyaknya data yang diperoleh, menyebabkan kesimpulan yang dirumuskan tidak fokus terhadap masalah yang hendak dipecahkan.Oleh karena itu, untuk mencapai kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.

C. Strategi Pembelajaran Kooperatif
Menurut Wina Sanjaya (2010: 309-310), SPK merupakan strategi pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Menurut Slavin dalam Wina Sanjaya (2010: 309), mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.Dari dua alasaan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.
SPK memiliki dua komponen utama yaitu, komponen tugas kooperatif dan komponen struktur insentif. Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok; sedang struktur insentif kooperatif merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerjasama mencapai tujuan kelompok.Struktur insentif dianggap sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif setiap anggota kelompok bekerja keras untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan kelompok.

a. Prinsip SPK 
Menurut Wina Sanjaya (2010: 310-311), terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan dibawah ini:

1. Prinsip Ketergantungan Positif 
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.Untuk terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya.Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin dapat diselesaikan manakala ada anggota yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang memiliki kemampuan lebih, diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya.

2. Tanggungjawab Perseorangan 
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang petama.Oleh karena itu, keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggungjawab sesuai dengan tugasnya.Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya.Untukmencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.

3. Interaksi Tatap Muka
Pembelajaran kooperatif memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dari budaya, dan latar belakang sosial dan kemampuan akademik yang berbeda. Perbedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antaranggota kelompok.

4. Partisipasi dan Komunikasi
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan masyarakat kelak.Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi.Keterampilan berkomunikasi memang membutuhkan waktu.Siswa tidak mungkin dapat menguasainya dalam waktu sekejap.Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik.

b. Langkah-Langkah SPK
Menurut Wina Sanjaya (2010: 312-313), prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap yaitu:

1. Penjelasan materi
Tahap penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Dalam tahap ini guru dapat menggunakan metode ceramah, curah pendapat dan tanya jawab, bahkan kalau perlu guru dapat menggunakan demonstrasi. Disamping itu, guru juga dapat menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaian dapat lebih menarik siswa.


2. Belajar dalam Kelompok
Menurut Lie dalam Wina Sanjaya (2010: 312), setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi pelajaran, selanjurnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya.Pengelompokan dalam SPK bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan gender, latar belakang agama, sosial-ekonomi dan etnik, serta perbedaan kemampuan akademis.Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.Selanjutnya Lie menjelaskan beberapa alasan disukainya pengelompokan heterogen.Pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung.Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, agama, etnik, dan gender.Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang.Melalui pembelajaran dalam team, siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.

3. Penilaian 
Penilaian dalam SPK bisa dilakukan dengan tes atau kuis.Tes atau kuis dilakukan baik individual maupun secara kelompok. Tes individual nantinya akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa dan tes kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok memiliki nilai sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.
4. Pengakuan Tim
Pengakuan tim (teamrecognition) adalah penerapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi tim lain untuk lebih mampu meningkatkan prestasi mereka.

D. Strategi Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menurut Elaine B. Johnson dalam Suyadi (2013: 81-82), strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan nyata, sehingga mendorongpeserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, CTL menyeting kelas menjadi miniatur lingkungan mini, dimana di dalamnya terjadi dialog antara teori dan praktik, atau idealitas dan realitas. Selanjutnya, penerapan CTL dalam prses pembelajaran menekankan pada tiga hal. Pertama, CTL menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi pelajaran. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar peserta didik hanya menerima pelajaran, tetapi  proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran tersebut. Kedua, CTL mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan nyata. Artinya, peserta didik dituntut agar dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata, dengan demikian peserta didikakan merekam keterkaitan tersebut sehingga tertanam erat di memori peserta didik. Ketiga, CTL mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, materi pelajaran yang diperoleh melalui CTL di dalam kelas bukan untuk dihafal, melainan dipahami, dipraktikkan, dan dibiasakan.

a. Karakteristik CTL
Menurut Hamruni dalam Suyadi (2013: 82-83), terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yakni:

1. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, sesuatu yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh peserta didik adalah pengetahuan yang utuh dan memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran yang konstektual adalah pembelajaran yang dapat menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan tersebut diperoleh secara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan secara detail.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge). Artinya, pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tetapi untuk dipahami, dikaitkan denganrealitas kehidupan sehari-hari, dipraktikkan dan dibiasakan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge).
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik (feedback) untukproses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

b. Komponen-Komponen CTL
Menurut Elaine B. Johnson dalam Suyadi (2013: 83-87), dalam pembelajaran CTL ada 7 (tujuh) asas yang menjadi landasan filosofis.Asas-asas tersebut sering juga disebut sebagai komponen-komponen CTL. Komponen-komponen tersebut diantaranya sebagai berikut:


1. Kontruktivisme
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif peserta didik berdasarkan pengalaman pribadinya.
2. Inkuiri
Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada  pencarian dan penemuan melalui berpikir secara sistematis.
3. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya.Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sementara menjawab pertanyaan dapat dipandang sebagai cerminan kemampuan seseorang dalam berpikir.


4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar dalam CTL adalah kerja sama atau belajar bersama dalam sebuah masyarakat atau kelas-kelompok.
5. Pemodelan (Modelling)
Asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengetahuan dan pengalaman yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah diprosesnya.
7. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)
Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang diakukan peserta didik.
E. Quantum Learning
Menurut Suyadi (2013: 97-99), quantum diartikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Dalam hal ini, peserta didik dianalogikan sebagai interaksi, kurikulum dianalogikan sebagai materi, dan cara belajar dianalogikan sebagai kecepatan massa. Dengan cara mengalikan antara kurikulum dengan cara belajar, peserta didik akan meraih lompatan prestasi belajar dengan cepat, secepat cahaya melesat. Peletak dasar teori quantum learning ini adalah  Bobbi DePorter. Tetapi, teori iniberpijak kepada metode accelerated learning yang dicetuskan oleh Dr. Georgi Lazanov.Accelerated learning adalah cara belajar secara alamiah yang telah dipraktikkan setiap anak sejak zaman kuno. Teori belajar quantum membekali peserta didik dengan pengetahuan tentang berbagai gaya belajar sesuai dengan modalitas masing-masing peserta didik. Cara belajar dalam teori ini adalah teknik membaca cepat, membuat catatan efektif, menulis canggih, dan menghafal secara menakjubkan.

a. Asas-Asas Pembelajaran Quantum Learning
Menurut Suyadi(2013: 100-103), untuk meraih hasil pembelajaran yang maksimal dalam pembelajaran quantum, diperlukan acuan beberapa asas-asas tertentu. Setidaknya terdapat tiga asasutama, diantaranya sebagai berikut:

1. Melibatkan Emosi Positif dalam Belajar
Menurut Hamruni dalam Suyadi (2013: 100-101), banyak penelitian yang menunjukkan bahwa emosi positif sangat membantu keberhasilan belajar peserta didik. Untuk melibatkan emosi dalam pembelajaran, guru harus menciptakan kesenangan dalam belajar dengan cara menjalin hubungan dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Ada tiga langkah untuk menciptakan suasana belajar menyenangkan.Pertama, afirmasi. Cara ini diyakini mampu menambah lebih banyak kegembiraan, dan cara efektif untuk menggapai suasana hati peserta didik lebih dalam. Kedua, mengakui. Pada dasarnya, setiap orang ketika mendapat pengakuan akan merasa, senang, bangga, percaya diri dan termotivasi. Ketiga, merayakan kerja keras. Merayakan keberhasilan setelah bekerja keras akan memotivasi peserta didik untuk melakukan pekerjaan yang lain.

2. MaksimalisasiFungsi Otak
Dalam salah satu tujuan dari tahap persiapan siklus accelerated learning adalah menciptakan perasaan (emosi) positif dalam diri pembelajar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kinerja sistem limbic dalam otak. Sebab fungsi otak bagian ini mendorong yang bersangkutan untuk bekerja sama, bukannya bersaing.Di samping itu, pembelajaran harus melibatkan fungsi neokorteks otak. Sebab optimalisasi bagian otak ini dapat membantu cara berpikir, mengolah informasi, berimajinasi, dan menciptakan makna sertanilai bagi dirinya sendiri.

3. Memadukan S-A-V-I dalam Pembelajaran
Pendekatan SAVI dalam belajar memunculkan sebuah konsep belajar yang disebut Belajar Berbasis Aktivitas (BBA). Artinya, belajar dengan bergerak aktif dengan memanfaatkan indera sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan pikiran terlibat dalam proses belajar. Belajar model ini jauh lebih efektif dari pada yang didasarkan pada prestasi, materi, dan media, sebab gerakan fisik meningkatkan proses mental. Oleh karenaitu, proses pembelajaran ini harus menggabungkan antara gerakan fisik dan seluruh indera yang ada. Inilah yang disebut dengan model SAVI (Somatis, Auditori¸ Visual, intelektual).

F. Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)
Menurut Suyadi (2013: 129-131), strategi pembelajaran berbasis masalah dikembangkan dari filsafat konstruksionisme, yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan konstruksi pengetahuan secara otonom. Artinya, peserta didik akan menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari seluruh pengetahuan yang telah dimiliki dan dari semua pengetahuan baru yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berpusat pada masalahtidak sekedar transfer of knowledge dari guru kepada peserrta didik, melainkan kolaborasi antara guru dan peserta didik, maupun peserta didik dengan peserta didik yang lain untuk memecahkan masalah yang dibahas. Dengan demikian, strategi pembelajaran berbasis masalah adalah strategi pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah secara terbuka.Hal ini berbeda dengan strategi pembelajaran inkuiri. Dalam strategi pembelajaran inkuiri, masalah yang akan dipecahkan telah ada jawaban yang pasti dari guru, hanya saja guru tidak menyampaikannya secara langsung.Strategi pembelajaran berbasis masalah mengusung gagasan utama bahwa tujuan pembelajaran dapat tercapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasekan dalam satu konteks. Dengan kata lain, tujuan utama pendidikan adalah memecahkan problem-problem kehidupan.

a. Ciri-Ciri SPMB
Menurut Wina Sanjaya dalam Suyadi (2013: 131-132), SPMB mempunyai tiga ciri utama yang sekaligus membedakannya dengan strategi pembelajaran yang lain. Ketiga ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. SPMB merupakanrangkaian aktivitas pembelajaran. Artinya, SPMB terdiri sejumlah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan peserta didik. Peserta didik tidak hanya mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran yang diberikan. Tetapi berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan menyimpulkannya.
2. Aktivitas pelajaran diorientasikan kepada penyelesaian masalah.SPMB menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa adanya masalah maka tidak mungin adanya proses pembelajaran berbasis masalah.
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakanpendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris.

G. Strategi Pembelajaran Afektif
Menurut Hamruni dalam Suyadi (2013: 189-190), strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran yang mampu membentuk sikap peserta didik melalui proses pembelajaran. Ditinjau dari segi nama secara harfiah, strategi ini menekankan kepada aspek afektif, bukan kognitif maupun psikomotor. Hal ini bukan berarti strategi ini lepas sama sekali dengan aspek kognitif maupun psikomotor, namun hanya komposisinya lebih dominan dengan afektif. Pembentukan sikap (afeksi) harus menjadi tanggungjawab semua mata pelajaran.Dalam hal ini, strategi pembelajaran menjadi jembatan antar matapelajaran dalam bentuk sikap (afeksi) peserta didik. Dengan kata lain, mata pelajaran apapun yang diajarkan dengan metode afektif dapat membentuk sikap dan mental peserta didik
Dengan demikian, jelas bahwa strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran pembentukan sikap, moral atau karakter peserta didik melalui semua mata pelajaran.Hal ini dikarenakan ranah afektif peserta didik sangat berkaitan dengan komitmen, tanggung jawab, kerjasama, disiplin, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, pengendalian diri dan sebagainya. Semua yang disebutkan itu tidak lain dan tidak bukan adalah nilai-nilai karakter. Oleh karenaitu, strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran karakter itu sendiri.

H. Strategi Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik (PAILKEM)
Strategi pembelajaran PAILKEM merupakan salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Dimaksudkan dengan strategi karena bidang garapannya tertuju pada bagaimana cara: (1) pengorganisasian materi pembelajaran, (2) menyampaikan atau menggunakan metode pembelajaran, dan (3) mengelola pembelajaran sebagaimana yang dikehendaki oleh ilmuan pembelajaran selama ini, seperti Reigeluth dan Merill yang telah meletakkan dasar-dasar instruksional yang mengoptimalkan proses pembelajaran. PAILKEM merupakan sinonim dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik. Sinonim dari PAILKEM tersebut secara singkat diuraikan berikut ini:

1. Pembelajaran yang Aktif
Konsep pembelajaran aktif bukanlah tujuan dari kegiatan pembelajaran., tetapi merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Aktif dalam strategi ini adalah memosisikan guru sebagai orang yang menciptakan suasana belajar yang kondusif atau sebagai fasilisator dalam belajar., sementara siswa sebagai peserta belajar yang harus aktif. Dalam proses pembelajaran yang aktif itu terjadi dialog yang interaktif antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan sumber belajar lainnya. Dalam suasana pembelajaran yang aktif tersebut, siswa tidak terbebani secara perseorangan dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam belajar, tetapi mereka dapat saling bertanya dan berdiskusi sehingga beban belajar bagi mereka sama sekali tidak terjadi. Dengan strategi pembelajaran yang aktif ini diharapkan akan tumbuh dan berkembang segala potensi yang mereka miliki sehingga pada akhirnya dapat mengoptimalkan hasil belajar mereka.

2. Pembelajaran yang Inovatif
Pembelajaran inovatif juga merupakan strategi pembelajaran yang mendorong aktivitas belajar.Maksud inovatif disini adalah dalam kegiatan pembelajaran ini terjadi hal-hal yang baru, bukan saja oleh guru sebagai fasilisator belajar, tetapi juga oleh siswa yang sedang belajar.Dalam strategi pembelajaran yang inovatif ini, guru tidak saja tergantung dari materi pembelajaran yang ada pada buku, tetapi dapat mengimplementasikan hal-hal baru yang menurut guru sangat cocok dan relevan dengan masalah yang sedang dipelajari siswa. Demikian pula siswa, melalui aktivitas belajar yang dibangun melalui strategi ini, siswa dapat menemukan caranya sendiri untuk memperdalam hal-hal yang sedang ia pelajari.
Pembelajaran yang inovatif bagi guru dapat digunakan untuk menerapkan temuan-temuan terbaru dalam pembelajaran, terlebih lagi jika temuan itu merupakan temuan guru yang pernah ditemukan dalam penelitian tindakan kelas atau sejumlah pengalaman yang telah ditemukan selama menjadi guru. Melalui pembelajaran yang inovatif ini, siswa tidak akan buta tentang teknologi dan mereka bisa mengikuti perkembangan teknologi yang ada sekarang ini. Dengan demikian pembelajaran diwarnai oleh hal-hal baru sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Jika pembelajaran inovatif ini berjalan dengan baik disekolah, maka dapat dipastikan bahwa semboyan sekolah sebagai pusat perkembangan kebudayaan benar-benar terwujud.

3. Pembelajaran yang Menggunakan Lingkungan
Strategi pembelajaran yang menggunakan lingkungan adalah salah satu strategi yang mendorong siswa agar belajar tidak tergantung dari apa yang ada dalam buku atau kitab yang merupakan pegangan guru. Konsep pembelajaran ini berangkat dari belajar kontekstual dengan lebih mengedepankan bahwa hal yang perlu dipelajari terlebih dahulu oleh siswa adalah apa yang ada pada lingkungannya.


4. Pembelajaran yang Kreatif
Pembelajaran yang kreatif juga sebagai salah satu strategi yang mendorong siswa untuk lebih bebas mempelajari makna yang ia pelajari. Pembelajaran yang kreatif juga sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.
Pembelajaran yang kreatif adalah salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa.Pembelajaran kreatif ini pada dasarnya mengembangkan belahan otak kanan anak yang dalam teori Hemosfir disebutkan bahwa belahan otak anak terdiri dari belahan kiri dan belahan kanan.Belahan kiri sifatnya konvergen dengan ciri utamanya berpikir linier dan teratur, sementara belahan otak kanan sifatnya divergen dengan ciri utamanya berpikir konstruktif, kreatif, dan holistik.
Dengan demikian pembelajaran yang kreatif menghendaki guru harus kreatif, dan siswa dapat mengembangkan kreativitasnya. Apa yang dimaksud dengan kreativitas?.Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat atau menciptakan hal-hal baru atau kombinasi baru berdasarkan data, informasi, dan unsur-unsur yang ada.Memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dan menghasilkan karya cipta yang diperoleh melalui pengetahuan atau pengalaman hidup serta mampu memunculkan ide-ide kreatif yang inovatif. Disinilah esensi pembelajaran yang kreatif perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di Indonesia.

5. Pembelajaran yang Efektif
Pembelajaran yang efektif adalah salah satu strategi pembelajaran yang diterapkan guru dengan maksud untuk menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan.Strategi pembelajaran yang efektif ini menghendaki agar siswa yang belajar dimana dia telah membawa sejumlah potensi lalu dikembangkan melalui kompetensi yang telah diterapkan, dan dalam waktu tertentu kompetensi belajar dapat dicapai siswa dengan baik atau tuntas.
Dalam  menerapkan srtategi ini tentu tujuan yang akan disusun dalam kompetensi  dasar, indikator, dan tujuan perlu mempertimbangkan karakteristik siswa. Untuk itu sebelum strategi ini digunakan, terlebih dahulu siswa dilakukan analisis karakteristiknya berupa analisis minat, bakat, kemampuan awal, atau motivasi belajar siswa hingga gaya belajar mereka. Hasil analisis ini digunakan sebagai dasar menetapkan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran. Dengan strategi ini akan terjadi proses pembelajaran yang kondusif karena guru ketika memberikan pembelajaran telah terbekali dengan karakteristik siswa yang menjadi dasar penetapan metode dan penggunaan media pembelajaran. Dengan kata lain, strategi pembelajaran yang efektif adalah strategi pembelajaran yang mempertimbangkan karakteristik siswa, bagaimana kemampuannya, metode apa yang cocok digunakan, media apa yang pas diterapkan serta evaluasi pembelajaran pun didasarkan pada kemampuan siswa.
Segala pertimbangan dalam strategi ini menyangkut tujuan yang disusun berdasarkan kemampuan siswa., pemilihan materi yang benar-benar menunjang tujuan, penetapan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa, penggunaan media yang pas serta evaluasi yang tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan, pada akhirnya tetap terpulang pada bagaimana peran seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran.



6. Pembelajaran yang Menarik
Muara dari semua strategi yang digunakan dalam pembelajaran adalah bagaimana proses pembelajaran itu bisa berjalan dengan baik dan menarik bagi siswa yang belajar. Pembelajaran yang menarik dalam posisi variabel  pembelajaran sebagaimana yang diungkapkan menempati variabel hasil pembelajaran, selain keefektifan dan efisiensi pembelajaran.
Keefektifan lebih mengarah pada besarnya presentase penguasaan yang dicapai siswa setelah melalui proses pembelajaran dalam limit waktu tertentu, sementara efisiensi juga melihat hasil yang dicapai siswa dengan mempertimbangkan aspek biaya atau berapa besar dana yang dikeluarkan untuk menghasilkan presentase penguasaan, termasuk berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk hasil pembelajaran. Khusus kemenarikan pembelajaran adalah ukuran keberhasilan yang indikatornya makin lama seseorang belajar, maka makin tertarik dia mempelajari sesuatu atau makin dia perdalam.Tidak seperti hasil pembelajaran yang selama ini terjadi meskipun seseorang lulusan LPTK yang ditempah menjadi seorang guru, tapi kenyataannya malah mereka terjun kebidang lain, yakni banyak lulusan LPTK yang ingin terjun ke dunia politik, ingin jadi anggota parlemen atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Strategi pembelajaran yang menarik tentu tidak akan berjalan hampa tanpa dibarengi dengan penyiapan suasana pembelajaran yang mendorong siswa akan memperdalam apa yang dia pelajari. Dalam kaitan ini seorang guru yang baik, sebagaimana disebutkan diatas bahwa peran guru sekarang ini sangat efektif jika guru memosisikan sebagai fasilitator belajar.Artinya guru menyediakan situasi atau suasana agar pembelajaran itu berjalan dengan baik. Dalam kaitan ini hal yang perlu disiapkan guru adalah (1) media pembelajaran disiapkan dengan baik, (2) lingkungan belajar di-setting sesuai objek materi yang dipelajari, (3) metode pembelajaran yang digunakan sesuai dengan karakteristik siswa yang belajar, sehingga siswa merasa tertarik karena sesuai dengan apa yang diinginkan, (4) siswa diperlakukan sebagai seorang yang perlu dilayani.

9.4 Cara Meningkatkan Belajar
Berikut beberapa cara meningkatkan belajar antara lain:
1. Bergaul Dengan Orang Bersemangat Belajar
Teman sangat memengaruhi diri kita, apalagi jika kita sering bersamanya maka apa yang menjadi sifatnya atau kebiasaannya mudah sekali kita tertular dengan sifat dan kebiasaannya. Teman yang malas dapat membuatmu terpengaruh dan ikut-ikutan malas, kadang kita malas belajar karena teman kita juga malas belajar. Sebaliknya teman yang bersemangat dalam belajar sangat memengaruhi kita, sehingga melihatnya menjadikan kita ingin mencontohnya. Aura positif yang ditimbulkan dapat menular. Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, karena teman sangat memengaruhi kehidupan kita. Bahkan jika kita ingin mengenal orang lain yang belum kita kenal, kita bisa melihat dengan siapa dia berteman, kita menjadi bisa mengenalnya.
2. Buat Target yang Ingin Dicapai
Dalam usaha mencapai tujuan, target sangat penting untuk dituliskan, jangan hanya diingat karena kekuatan otak kita tidak mampu selalu mengingatnya. Tulis target yang harus kita capai pada kertas lalu tempelkan pada tempat-tempat yang sering kita melihatnya, seperti lemari, dinding kamar atau bisa juga ditulis di buku agenda atau diarymu. Dengan menulis target yang akan kita capai ini mempunyai kekuatan yang besar dalam mencapai keberhasilan. Menurut salah satu seorang motivator Indonesia, buatlah anda seolah-olah seperti dikejar oleh seekor anjing. Seseorang yang dikejar oleh anjing maka dia akan berlari sekuat tenaga tanpa memperdulikan bahaya yang rintangan yang ada, dia akan fokus agar dapat selamat dari kejaran anjing tersebut. Jika anda dalam belajar juga seperti hal tersebut maka target akan cepat tercapai.
3. Menunda Kesenangan
Tanamkanlah dalam pikiran anda bahwa sesuatu yang diawali dengan perjuangan pasti akan diakhiri dengan kesenangan dan kebahagiaan. Maka tunda terlebih dahulu kesenangan anda, tetapi ganti dengan melakuakan perjuangan belajar menuntut ilmu, walaupun memang rasanya pahit, tetapi jika kita telah menjalaninya maka kita akan merasakan kenikmatannya. Belajar itu menyenangkan karena kita akan bisa mengerti apapun yang ingin kita ketahui. Menunda kesenangan terlebih dahulu demi kebahagiaann panjang selanjutnya tidak ada ruginya, daripada sekarang kita bersenang-senang tetapi kita tidak tahu bagaimana nasib kita di masadepan tanpa mempersiapkannya sekarang.Jadi berjuanglah terlebih dahulu dengan semangat belajar.
4. Buktikan pada Orang-Orang Bahwa Anda Pintar
Sebenarnya setiap orang telah diberi kekuatan otak untuk berpikir yang tidak berbeda jauh antara satu orang dengan orang lainnya.Yang menentukan kita pintar atau tidak bukan 100% kekuatan otak tetapi kemauan. Seorang yang memliki kemauan yang tinggi akan mempunyai motivasi tinggi dalam mencapai target. Buktikan kepada orang-orang bahwa anda juga termasuk orang yang mempunyai kemauan yang tinggi, dengan bermodal tersebut maka diri anda akan termotivasi untuk semangat belajar. Semangat belajar yang tinggi akan menjadikan anda lebih pintar. Orang yang pintar sering terkalahkan dengan orang yang rajin dan mempunyai kemauan tinggi.Jadi buktikan bahwa andapun bisa menjadi orang pintar.
5. Atur Waktu Belajar
Atur waktu anda dalam segala kegiatan yang akandilakukan. Mengatur waktu akan menjadikan diri anda berlatih disiplin serta tidak bertingkah semaunya sendiri atau sesuai kehendak hati. Mungkin ketika anda sedang patah hati, padahal anda besok akan ujian maka anda tidak belajar. Hal inilah yang harus dihindari karena belajar tetap harus berjalan.Maka dari itu buatlah jadwal agar anda tidak terbawa emosi dengan perasaan hati anda.Jika anda melihat jadwal anda belajar maka lakukanlah, tetapi bukan berati anda harus benar-benar ketat dengan diri anda sendiri.Jika anda sakit anda bisa beristirahat terlebih dahulu.Jika jadwal anda bermain, silahkan gunakan waktunya untuk bermain. Dengan mengatur waktu belajar maka anda akan fokus dengan belajar anda, karena waktu bermain, belajar atau yang lain telah terpisah-pisah dengan baik.
6. Fokus lima Menit
Hal yang tersulit dalam melakukan sesuatu yaitu untuk memulainya. Kadang kita berpikir melakukan hal lain lebih nyaman dan asyik, tetapi sebenarnya ini adalah pikiran otak yang dapat disiasati. Untuk menghindari sulit memulai belajar maka bayangkan terlebih dahulu bahwa anda akan belajar hanya 5 menit saja, kemudian setelah itu akan berhenti. Dengan demikian maka otak anda akan lebih tertarik untuk belajar karena hanya sebentar. Tetapi setalah anda melakukan belajar dalam 5 menit, maka otak anda akan merasakan suatu kenyamanan sehingga andapun akan enggan untuk memulai sesuatu yang lain lagi. Tetapi dengan catatan bahwa dalam lima menit pertama ini, anda harus benar-benar fokus dengan belajar anda.
7. Stopatau Start di Bagian Menarik
Saat anda sedang belajar tetapi anda ingin melakukan sesuatu hal misalnya makan atau minum, maka berhentilah saat anda sedang belajar di bagian yang menarik. Hal ini akan memotivasi diri anda untuk memulai belajar lagi setelah anda makan atau minum, karena pikiran anda akan merasa penasaran dengan kelanjutannya. Ini merupakan trik yang bisa anda coba.
8. Singkirkan atau Menjauh dari Gangguan
Banyak gangguan yang akan membuat diri anda merasa tergoda untuk beralih dari belajar dan melakukan aktivitas lain, misal menonton TV, tiduran, bermain game, atau sms pacar. Maka sebelum mulai belajar singkirkan hal-hal tersebut atau anda memilih tempat belajar yang terhindar dari berbagai gangguan tersebut. Hal ini akan membuat belajar anda menjadi lebih fokus.
9. Buat Sebuah Reward atau Hukuman
Reward atau hukuman akan memicu semangat belajar anda sehingga anda akan berpikir jika tidak mencapai terget maka anda akan mendapat hukuman. Hal ini akan seperti memaksa diri anda untuk belajar, tetapi tidak masalah karena paksaan akan menjadi kebiasaan jika dilakukan secara terus-menerus dalam waktu minimal 40 hari. Jika anda tidak percaya anda bisa mencobanya sendiri.
10. Menonton Film Motivasi atau Membaca Novel Motivasi
Kadang ada juga orang yang lebih termotivasi ketika membaca novel atau menonton film dibanding mendapat nasehat orang lain atau melihat keberhasilan orang lain, hal ini karena setiap orang mempunyai tingkat emosional yang berbeda. Anda dapat mencoba untuk menonton film atau membaca novel motivasi agar semangat belajar anda bisa semakin meningkat.Novel sekarang telah banyak sehingga anda dapat memilihnya yang seseuai dengan diri anda dapat meningkatkan semangat anda dalam belajar, begitupun dengan film.
11. Menanamkan Kemauan atau Niat yang Tinggi Untuk Belajar
Jika jiwa kita telah tertanam kemauan dan niat yang tinggi maka belajar akan menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan sehingga tidak ada lagi beban, tetapi yang ada hanya kenikmatan dan kenyamanan karena mendapat banyak informasi yang sebelumnya belum kita ketahui.
12. Menempelkan Kata-Kata Motivasi di Dinding Kamar
Kata-kata motivasi jika ditempel di dinding kamar, maka akan selalu terlihat oleh kita, sehingga ketika kita sedang merasa malas maka kita akan melihatnya dan tergugah kembali semangat kita. Hal tersebut seperti menjadi pengingat diri kita sehingga ketika kita malasakan menjadi semangat kembali.
13. Menggunakan Teknik Belajar yang Efektif
Anda harus pintar dalam menggunakan teknik belajar karena akan mempengaruhi otak kita dalam bekerja menyerap informasi dan ilmu pengetahuan. Belajar lebih efektif dengan teknik 3 x 1 jam lebih baik dibanding dengan 1 x 3 jam. Jadi lebih baik kita belajar 3 kali dengan durasi sekali belajar 1 jam dibanding dengan belajar 1 kali dengan durasi langsung 3 jam.
14. Pelajari Teknik Membaca Cepat
Dengan pintar teknik membaca cepat maka informasi dan ilmu pengetahuan akan dengan cepat kita peroleh, apalagi di zaman yang era modern globalisasi ini, kemampuan membaca cepat akan semakin menyukseskan anda dalam meraih keberhasilan.

15. Pelajari Teknik Mengingat Dengan Kata Kunci atau Akronim
Otak ketika mengingat suatu hal akan lebih tajam jika hal yang pendek. Maka buatlah kata kunci atau akronim untuk membantu otak anda dalam mengingat pelajaran, sehingga daya ingat dan konsentrasi anda akan meningkat. Hal ini juga dapat memacu potensi belajar anda serta ilmunya tidak mudah lupa atau hilang, sampai tua nanti anda dapat teringat karena memang berbentuk akronim.Dikutip dari (https://guruppkn.com/cara-meningkatkan-semangat-belajar).
9.5 Pembelajaran Aktif (Active Learning)
A. Pengertian Active Learning
Menurut Hamruni dalam Suyadi (2013: 36), pembelajaran aktif adalah segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan peserta didik berperan secara aktif dalam proses pembelajaran, baik dalam bentuk interaksi antar peserta didik ataupun peserta didik dengan guru dalam proses pembelajaran. Untuk menciptakan pembelajaran aktif, beberapa penelitian menemukan salah satunya adalah anak belajar dari pengalaman, selain anak harus belajar memecahkan masalah yang dia peroleh.Anak-anak dapat belajar dengan baik dari pengalaman mereka. Mereka belajar dengan cara melakukan, menggunakan indera mereka, menjelajahi lingkungan, baik lingkungan berupa benda, tempat serta perisiwa-peristiwa disekitar mereka. Keterlibatan yang aktif dengan objek-objek ataupun gagasan-gagasan tersebut dapat mendorong aktivitas mental mereka untuk berpikir, menganalisa, menyimpulkan, dan menemukan pemahaman konsep baru dan mengintegrasikannya dengan konsep yang sudah mereka ketahui sebelumnya.

B. Ciri-Ciri Pembelajaran Aktif
Menurut Bonwell dalam Suyadi (2013: 36-37), pembelajaran aktif memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Menekankan pada proses pembelajaran, bukan pada penyampaian materi oleh guru. Proses ini merupakan upaya menanamkan nilai kerja keras kepada peserta didik. Proses pembelajaran tidak lagi sekedar transfer ilmu pengetahuan, melainkan lebih kepada transfer nilai. Nilai yang dimaksud disini adalah nilai-nilai karakter secara luas, salah satunya adalah rasa ingin tahu.

2. Peserta didik tidak boleh pasif, tetapi harus aktif mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Aktif dalam konteks ini merupakan upaya penanaman nilai tanggungjawab, dimana peserta didik harus mempraktikkan bahkan membuktikan teori yang dipelajari, tidak sekedar diketahui.

3. Penekanan eksplorasi pada nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi pembelajaran. Dalam hal ini peserta didik berhak menerima materi pelajaran yang dipandang selaras dengan pandangan hidupnya atau menolak materi pelajaran yang tidak sesuai dengan pandangan hidupnya. Pola pembelajaran ini merupakan proses pembentukan sikap secara matang.

4. Peserta didik lebih  banyak dituntut berpikir secara kritis, menganalisis dan melakukan evaluaasi daripada sekedar menerrima teori dan menghafalnya. Tuntutan ini merupakan aktualisasi lebih lanjut mengenai nilai karakter “rasa ingin tahu”, sehingga peserta didik tidak anti realitas karena berpandangan bahwa realitas yang terjadi tidak sesuai dengan teori yang dipelajari dan dihafal, yang mengakibatkan peserta didik mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Terpenuhinya tuntutan dalam pembelajaran ini (kritis-analisis) akan menghindarkan peserta didik dari tindakan brutal dan membabi buta atau ikut-ikutan, tawuran misalnya, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

5. Umpan balik dan proses dialektika yang lebih cepat akan terjadi pada proses pembelajaran. Pembelajaran yang dialogis, secara tidak langsung membentuk karakter peserta didik yang demokratis, pluralis, menghargai perbedaan pendapat, inklusif, terbuka dan humanitas tinggi.
Di samping karakteristik di atas, secara umum suatu proses pembelajaran aktif memungkinkan diperolehnya beberapa hal. Pertama, interaksi yang timbul selama proses pembelajaran akan menumbuhkan positive interdependence, dimana konsolidasi pengetahuan yang dipelajari hanya dapat diperoleh secara bersama-sama melalui eksplorasi  aktif dalam belajar. Kedua, setiap individu harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran, dan guru harus mendapatkan penilaiandari peserta didik sehingga terdapat individual accountability. Ketiga, proses pembelajaran aktif memerlukan tingkat kerjasama yang tinggi sehingga akan memupuk social skills.
Adapun pendapat lain yang mengemukakan ciri-ciri belajar aktif, diantaranya sebagai berikut:
1. Mengembangkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran
2. Membuat siswa menjadi memiliki rasa ingin tahu. Membuat siswa menjadi tertantang.
3. Membuat siswa aktif secara mental, fisik, dan psikis
4. Membantu siswa tumbuh kreatif. 
5. Mudah dilaksanakan oleh guru.Menggunakan metode-metode mengajar yang mudah dan tidak membutuhkan kerja keras semata. Dikutip dari (http://mudah-belajarbahasaarab.blogspot.co.id/2014/11/hakekat-pembelajaran-yang-ideal.html?m=1).

C. Ciri-Ciri Siswa yang Aktif Belajar
Semua siswa yang sedang belajar secara aktif mempunyai ciri-ciri yang dapat dengan mudah diamati. Ciri-ciri tersebut yaitu:

1. Pengetahuan dialami, dipelajari, dan ditemukan oleh siswa, dimana siswa yang aktif belajar selalu menemukan pengetahuan, informasi, atau keterampilan dengan mengalami langsung. 
2. Siswa melakukan sesuatu untuk memahami materi pelajaran (membangun pemahaman).
3. Siswa berpikir reflektif. Siswa-siswa yang belajar secara aktif tampak pula mengomentari (tidak hanya meminta untuk dikomentari), menyimpulkan  proses pembelajaran, mencoba memperbaiki kesalahan atau kekurangan dalam proses pembelajarannya, dan menyimpulkan  materi pembelajaran dengan kata-katanya sendiri.

D. Menjadikan Siswa Aktif Sejak Awal

Meurut Silberman (2009: 61), dalam memulai pelajaran apa pun, kita sangat perlu menjadikan siswa aktif semenjak awal. Jika tidak, kemungkinan besar kepasifan siswa akan melekat seperti semenyang butuh waktu lama untuk mengeringkannya. Susunlah aktivitas pembuka yang menjadikan siswa lebih mengenal satu sama lain, merasa lebih leluasa, ikut berpikir, dan memperlihatkan minat terhadap pelajaran. Dalam saat-saat awal dari kegiatan belajar aktif, ada tiga tujuan penting yang harus dicapai. Ketiga tujuan ini, bila dicapai, akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang melibatkan siswa, meningkatkan kemauan mereka untuk ambil bagian dalam kegiatan belajar aktif, dan menciptakan norma kelas yang positif. Arti pentingnya jangan dipandang rendah sekalipun pelajarannya hanya berlangsung satu jam pelajaran. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan tim: Membantu siswa untuk lebih mengenal satu sama lain dan menciptakan semangat kerjasama dan interdependensi.
2. Penilaian sederhana: Pelajarilah sikap, pengetahuan dan pengalaman siswa.
3. Keterlibatan belajar langsung: ciptakan minat awal tentang pelajaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA (BAHASA INDINESIA)

Makalah Microsoft Visual Basic